Jakarta (ANTARA News) -Asuransi Bumiputra tahun 2012 yang genap berusia 100 tahun didirikan sedikitnya tiga orang guru, yakni Dwidjosewejo, MKH Soebroto dan M Adimidojo pada tahun 1912 atau empat tahun setelah kelahiran Boedi utomo atau kebangkitan bangsa Indonesia 1908.

Hadirnya Bumiputera dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan meningkatkan kesejahteraan kaum bumiputera yang kala itu oleh para pendiri dinilai bahwa rakyat Indonesia bekerja sebagai "jongos", kuli atau pegawai kasar di perusaahaan tebu dan tembakau milik orang asing atau penjajah.

Bumiputera sebelum mencapai usia puncak 100 tahun, pernah meraih berbagai penghargaan, Top Agent, Top Brand bahkan pernah juga tahun 1990-an meraih premi tertinggi, mencapai di atas Rp1 triliunan .

Makna perolehan premi tertinggi di kalangan perusahaan asuransi menujukkan lembaga tersebut dipercaya oleh para nasabah.

Dengan begitu, Bumiputera menjadi tolok ukur kemajuan asuransi jiwa nasional, meskipun pemerintah tidak membantu permodalannya, dan memperkuat bentuk kelembaganya.

Hingga kini Bumiputera yang berbentuk mutual diperlakukan seperti halnya perseroan terbatas (PT) yang pemegang sahamnya jelas dan terukur. Dari pemegang saham itulah yang menentukan struktur dan nama-nama komisaris dan direksinya.

Bentuk mutual, berbeda dengan perseroan, koperasi dan yayasan. Di Bumiputera, pemegang polis dipersepsikan sebagai pemegang saham pasif.

Namun setalah lebih dari 100 tahun usia lembaga itu, kini tampak mengalami kesulitan likuiditas keuangannya. Risk Base Capital/RBC, perbandingan antara kewajiban yang harus dibayarkan kepada pihak ke tiga dengan jumlah aset likuid, kurang dari 120 persen.

Jumlah itu menurut ukuran OJK, tidak akan mampu membayar premi yang jatuh tempo sehingga butuh aliran dana segar untuk memulihkan kinerja keuangan yang stabil. Pemerintah tidak mungkin melakukan bail-out atau memberikan dana talangan kepada Bumiputera.

Penurunan RBC, menurut pejabat OJK Ngalim Sawega, di Jakarta pekan lalu, akan membahayakan bagi empat juta pemegang polis karena itu, OJK berkesimpulan jika tak ada dana segar yang disuntikkan kepada Bumiputera, pada dua tahun berjalan akan mengalami kesulitan atau ketidak mampuan membayar polis .

Penurunan RBC menurut sumber, karena tidak adanya kontrol yang serius dari direksi. Banyak klaim "bodong" tetap dibayarkan, sementara kerugian terbesar juga disumbang dari salah urus dalam berinvestasi.

Bumiputera melakukan kontrak pengelolaan dana (KPD) dengan beberapa manajer investasi senilai lebih dari Rp307 miliar dan tiga juta dolar AS. Investasi itu tidak menguntungkan lantaran beberapa mitranya bermasalah.

Dengan kerugian disektor investasi akan memperparah penurunan RBC dalam suatu perusahaan asuransi. Guna mencegah kebangkrutan Bumiputera, OJK menggunakan "tajinya " mengambil alih manajemen lembaga itu dengan mencopot semua komisaris dan direksinya.


Statuter versi OJK

Saat ini Bumiputera dalam pengelolaannya diambil alih Otoritas Jasa Keuangan dengan istilah Statuter. Dalam kamus hukum, Blak Law (1999) statuter dapat bermakna "perlunya tindakan hukum untuk melakukan sesuatu karena terjadi ketimpangan. Bumiputera dalam pengelolaanya dinilai oleh OJK kurang beres, sehingga pihaknya perlu mengambil alih pengelolaannya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengatakan, statuter sifatnya sementara guna memulihkan kinerja keuangan Bumiputera secara baik. statuter itu, sesuai dengan Undang-undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dan keputusan pengambilalihan pengelolaan, kata Muliaman sudah melalui berbagai tahapan, rapat dengan pihak Bumiputera, OJK dan rapat Komisioner OJK.

"Karena itu tidak ujug-ujug mengambil alih tetapi sudah melalui berbagai tahapan," katanya.

Istilah statuter baru muncul setalah OJK lahir. Dalam UU Asurasi No 2 Tahun 1992 istilah tersebut belum mengemuka. Namun pada UU Perasuransian yang baru, hal itu dituangkan antara lain pada Pasal 59 dan Pasal 60 ayat (2) poin k. Pasal 59 ayat (1) menyebutkan, Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak tertentu untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan sebagian dari fungsi pengaturan dan pengawasan.

Hal itu dipertegas melalui Pasal 60 ayat (2) poin k yang antara lain menyebutkan, OJK dapat menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter, dengan biaya dibebankan perusahaan asuransi.

Dengan pengambilalihan pemegang polis sebagai representasi pemilik tentu berharap, manajemen baru dapat mengembalikan kepercayaan sehingga kondisi keuangan dapat normal kembali dan aset yang kini nilainya masih di atas Rp10 triliun, jangan sampai tergerus tinggal menjadi 50 persennya, lantaran adanya niat jahat dari orang-orang yang memanfaatkan OJK dengan berlindung istlah statuter atau UU.

Niat dari para pendiri adalah tulus untuk meningkatkan martabat para kaum pribumi. Saat ini tak satupun asuransi lokal, termasuk asuransi milik pemerintah yang mampu menyaingi raksasa asuransi milik orang asing kecuali Bumiputera.

Oleh karena itu, statuter atas nama UU di bawah komando OJK itulah sebagai "benteng" harapan terakhir menyelamatkan lembaga asuransi yang sudah 106 tahun bediri itu untuk tidak mati.

(Y005/A011)

Oleh Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016