Athena (ANTARA News) - As-Saadi Mohammad, seorang pengungsi Suriah yang tinggal di tempat penampungan di Yunani, menunggu perjalanannya ke tempat tinggal baru di Irlandia dengan harapan yang bercampur kekhawatiran.

Mohammad dan keluarganya termasuk segelintir pengungsi yang beruntung yang diterima oleh satu negara Eropa, sebagai bagian dari program relokasi untuk mengurangi beban Yunani, titik masuk menuju Eropa bagi pengungsi yang menyelamatkan diri dari daerah perang di Timur Tengah sejak 2915.

"Saya gembira dan puas setelah semuanya berjalan lancar. Kami merasa kami dilahirkan kembali. Kami dapat membuat awal baru," kata Mohammad kepada Xinhua.

Rasa cemas telah menghantui dia selama 10 bulan belakangan sejak mereka bergabung dengan migran yang putus asa untuk sampai ke Eropa pada Februari tahun lalu.

Mohammad dan istri Aldefallah Rwaida adalah guru sekolah di Daraa, kota yang terletak di ujung selatan Suriah di perbatasan dengan Jordania.

Sementara konflik antara gerilyawan dan pasukan Pemerintah Suriah menjadi peristiwa rutin, pasangan tersebut memutuskan untuk pergi demi tiga anak mereka --anak perempuan berusia delapan tahun, Lemar, anak lelaki berumur lima tahun, As-Saadi Souhaeb dan Lotous, anak perempuan yang berusia 2,5 tahun.

"Kita tak bisa memperkirakan kapan serangan selanjutnya terjadi. Orang takut bahwa seseorang akan melompat dari lorong dan mulai melepaskan tembakan. Jadi, kami memutuskan untuk pergi," kata Mohammad.

Karena mengkhawatirikan nyawa anak mereka, Mohammad dan keluarganya meninggalkan Daraa pada Februari tahun lalu dan memutuskan untuk pergi ke Eropa.

Itu adalah perjalana panjang yang menyakitkan. Mereka menghabiskan waktu sembilan hari untuk keluar dari Suriah dan mencapai perbatasan dengan Turki dalam kondisi berat.

Mereka tidak punya waktu untuk merasa lelah, kata Mohammad, sebagaimana diberitakan Xinhua. Mereka haru keluar dari Suriah.

"Kami takut. Jika militer Suriah menemukan kami, mereka akan memasukkan kami ke dalam penjara, atau jika gerilyawan menemukan kami, mereka akan membuat kami berperang buat mereka," katanya.

Kendati menghadapi kesulitan, Mohammad dan istrinya memiliki tekad kuat. "Tak ada jalan kembali. Jika kami kembali, hanya ada kematian," katanya.

"Ketika anda meninggalkan tempat gerilyawan dan ISIS berada, anda telah membuat langkah besar. Tak ada alasan untuk kembali," kata Mohammad.

Sambil membawa tas pribadi, mereka melakukan perjalanan pada malam hari dengan jalan kaki. Sementara putri bungsunya berada dalam gendongannya, Mohammad, bersama keluarganya, berjalan 17 jam untuk sampai di perbatasan Turki.

"Di perbatasan Turki, kami ketakutan. Selain kecelakaan, kami takut terhadap polisi. Kalau kami tertangkap, mereka akan memulangkan kami. Perjalanan kami akan kembali ke titik nol," kata Mohammad.

Sisa perjalanan ke Izmir lebih mudah. "Di Izmir, kami menghabiskan waktu dua malam di rumah penyelundup untuk menunggu laut tenang agar kami bisa menyeberangi Laut Aegea dan sampai ke satu pulau," kata Mohammad kepada Xinhua.

Mereka mencapai Pulau Chios pada 3 Maret. Karena perbatasan belum ditutup, prosedurnya sangat cepat dan mereka dikirim ke Athena dan pada hari yang sama mereka pergi ke perbatasan Yunani Utara di Idomeni.

Saat negara Balkan secara bertahap menutup perbatasan mereka buat pengunsi, Mohammad dan keluarganya bersama ribuan pengungsi lain dibiarkan terjebak di Yunani.

Mereka mula-mula dikirim ke satu kamp pengungsi di Yunani Utara, di Diavata selama beberapa bulan.

"Udara membeku. Kami hanya memiliki lima selimut. Kami tinggal di peti kemas tanpa penghangat ruangan. Udara dingin datang melalui lubang. Harus berdekatan agar hangat. Selama musim panas, udara panas, dan kami keluar dan berlindung di bawah pohon atas merasa lebih baik," katanya.

Setelah enam bulan mereka berada di Diavata, pemerintah memindahkan mereka ke satu hotel di Grevena, kota di Yunani Utara, tempat mereka mengajukan permohonan relokasi.

Setelah menjalani wawancara dan pemeriksaan medis, mereka diterima oleh Irlandia.

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017