Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi ke-13, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Sebagai bagian dari judicial activism, upaya Mahkamah Agung untuk menafsirkan dan menyusun pedoman yang jelas dan tegas terhadap penanganan kejahatan korporasi patut diapresiasi.

Media juga mempublikasikan bagaimana KPK berkolaborasi dengan Mahkamah Agung serta melibatkan kejaksaan dan kepolisian merumuskan langkah strategis untuk menangani kejahatan korporasi (corporate crimes).

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi telah lama diterima di Indonesia meskipun tidak dikenal dalam KUHP, dengan terbitnya UU darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang yang menentukan bahwa tuntutan dan hukum pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum yang melanggar (Pasal 11), maka untuk pertama kalinya Indonesia menggunakan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi.

Saat ini lebih dari 80 UU telah menerapkan konsep tersebut, termasuk UU tindak pidana korupsi, UU lingkungan hidup dan UU pencucian uang.

Meski begitu, hanya sedikit kasus pidana yang sampai di pengadilan dan menjerat korporasi. Kebanyakan adalah kasus lingkungan hidup, sedikit kasus pidana pajak, dan hanya satu perkara korupsi. Kekosongan dalam hukum acara pidana ditengarai merupakan pokok persoalan selain masalah minimnya pemahaman (lack of capacity) penegak hukum mengenai pidana korporasi.

Sebagai fiksi hukum (legal fiction) korporasi dianggap merupakan "badan buatan" (recht persoon) yang dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, namun demikian pada hakikatnya korporasi digerakkan oleh orang-orang di dalamnya, oleh karena itu secara teknis perlu ditentukan siapa yang dapat merepresentasikan korporasi dalam pemeriksaan pidana.

Pertanyaannya, bagaimana bila yang ditunjuk menolak mewakili korporasi? Kepada siapa panggilan pemeriksaan harus disampaikan? Bagaimana bila korporasi telah diambil alih atau bubar? Ada banyak konteks yang belum termuat dalam hukum acara pidana yang notabene masih merujuk pada subjek orang (natuurlijk persoon).

Persoalan pemidanaan korporasi juga dapat ditemui dalam berbagai putusan pengadilan. Misalnya, dalam kasus pajak Asian Agri Group yang diputus pada 2012. 

Terlepas bahwa masyarakat mendukung putusan Mahkamah Agung No. 2239K/PID.SUS/2012 yang dianggap progresif tersebut, namun pada sisi teknis operasional terjadi perdebatan, sebagian ahli pidana menilai Asian Agri Group tidak dapat dihukum pidana (Rp2,5 triliun) oleh Majelis Hakim, karena JPU tidak pernah mendakwa Asian Agri sebagai subjek hukum melainkan hanya mendakwa dan menuntut Suwir Laut yang merupakan tax manager Asian Agri.

Persoalan yang sama terjadi dalam perkara lingkungan hidup yang menjerat PT. Dongwoo Enviromental Indonesia (DEI). Dalam putusan Kasasi No. 862 K/Pid.Sus/2010 Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap PT. DEI meskipun dakwaan dan tuntutan diajukan terhadap Kim Young Woo bukan PT. DEI. Majelis Hakim juga menjatuhkan ancaman kurungan terhadap Kim Young Woo jika PT. DEI tidak membayarkan pidana denda yang dijatuhkan.

Demikian pula dalam perkara korupsi yang melibatkan PT. Giri Jaladhi Wana (GJW), meskipun dalam praktiknya Penuntut Umum telah tepat mendakwakan dan menuntut PT. GJW, namun dalam putusannya No. 02/Pid.Sus/2009/PT.BJM Pengadilan Tinggi Banjarmasin kemudian menjatuhkan pidana denda sebesar Rp1.317.782.129,- kepada PT. GJW yang dinilai dari selisih uang pengganti yang belum dibebankan kepada terdakwa lainnya.

Dalam hal ini Majelis Hakim tidak memisahkan pidana uang pengganti dengan pidana denda yang seharusnya diperhitungkan dari berat-ringannya perbuatan yang dilakukan oleh PT. GJW, bukan dari perhitungan selisih uang pengganti.

Kekosongan Hukum
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Agung menerbitkan Perma No.13 Tahun 2016. Substansi Perma menjelaskan bahwa korporasi dapat dijerat pidana apabila kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi dan perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi.

Perma juga menjawab perdebatan mengenai apakah unsur kesalahan (mens rea) selain unsur perbuatan (actus reus) perlu dibuktikan dalam pemidanaan korporasi, mengingat dalam hukum pidana berlaku asas "actus non facit reum nisi mens sit rea" atau tiada pidana tanpa kesalahan.

Perma mengidentifikasi 3 kesalahan yang dapat diatribusikan sebagai kesalahan korporasi, baik dalam bentuk kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa).

Pertama, apabila kejahatan dilakukan untuk memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan termasuk mencegah dampak yang lebih besar setelah terjadinya tindak pidana.

Konteks yang terakhir ini banyak digunakan dalam kasus lingkungan hidup seperti kebakaran hutan.

Singkatnya, bila penegak hukum menemukan bukti bahwa pemegang saham, atau anggota direksi atau komisaris bahkan pegawai rendahan sekalipun melakukan tindak pidana untuk kepentingan korporasi dan korporasi menerima keuntungan dari tindakan tersebut maka dapat diindikasikan korporasi telah melakukan tindak pidana.

Selain mengenai kriteria pidana terhadap korporasi, Perma juga menentukan mekanisme pemanggilan korporasi. Perma menegaskan pula bahwa induk korporasi, anak korporasi (subsidiari) maupun korporasi terafiliasi dapat ditarik pertanggungjawabannya sepanjang dapat dibuktikan peran dan kesalahannya.

Demikian juga apabila terjadi penggabungan, peleburan atau pemisahan korporasi setelah terjadi tindak pidana, maka korporasi secara proporsional tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan korporasi yang telah bubar tidak dapat lagi dikenakan pertanggungjawaban pidana meskipun terhadap asetnya tetap dapat dilakukan upaya penegakan hukum.

Dalam Perma juga ditentukan penyesuaian identitas korporasi dalam surat panggilan, surat dakwaan dan surat putusan terhadap korporasi, sehingga ke depan proses penanganan korporasi lebih memberikan kepastian hukum. Hal yang tidak kalah penting dalam substansi Perma adalah terobosan hukum terhadap aset korporasi yang digunakan sebagai alat atau berasal dari hasil kejahatan dapat segera dijual melalui lelang meskipun belum ada putusan pengadilan.

Ketentuan ini tidak saja menguntungkan Penyidik atau JPU dalam mengelola barang sitaan namun juga menyelamatkan tersangka atau terdakwa dari risiko kerugian karena penurunan nilai ekonomis dari barang yang digunakan sebagai jaminan pembayaran pidana denda atau uang pengganti.

Menyelamatkan Korporasi
Dengan terbitnya Perma diharapkan upaya penegakan hukum terhadap korporasi berjalan lebih efektif. Bersamaan dengan itu, korporasi perlu menyiapkan strategi dan langkah pencegahan untuk menghindarkan dirinya dari jerat pidana.

Model sistem kepatuhan (compliance model) yang baik harus diterapkan disertai audit kerja (due dilligent) secara berkala sebagai langkah antisipasi. Penyusunan dan penegakan code of ethic dan code of conduct di internal korporasi menjadi penting.

Sosialisasi dan pelatihan yang berkesinambungan terhadap orang-orang di dalam korporasi, serta berbagai langkah pencegahan lain akan sangat bermanfaat sebagai pengaman dan pembelaan bagi korporasi.

Upaya lain yang juga sangat penting adalah penerapan sanksi tegas dari korporasi terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang di dalamnya, termasuk melaporkan tindak pidana yang terjadi di korporasi kepada penegak hukum.

Semua aksi pencegahan yang dilakukan oleh korporasi akan sangat bermanfaat untuk memberikan proteksi bagi korporasi.

Sebagai pembelaan, upaya tersebut akan menjadi bukti otentik bahwa korporasi telah berupaya menghindari dirinya dari perilaku jahat. Mengingat pula bahwa hukum pidana mengenal alasan penghapusan pidana baik "pemaaf" maupun "pembenar" yang akan dipertimbangkan hakim dalam menentukan ada-tidaknya kesalahan dan perbuatan yang dapat dipidana dari korporasi.

Aksi Konkrit
Dalam berbagai kasus korupsi korporasi masih belum tersentuh, padahal korporasi justru meraup keuntungan paling besar dari tindakan koruptif yang dilakukan oleh orang-orang di dalamnya. Pemidanaan terhadap korporasi akan memberikan efek jera sekaligus peluang lebih besar untuk mendapatkan pengembalian keuangan negara.

Persoalan kekosongan hukum dalam penanganan perkara korporasi telah diatasi dengan Perma No. 13 Tahun 2016, saatnya penegak hukum bergerak menangani kejahatan yang melibatkan korporasi. Publik menunggu langkah konkrit kepolisian, kejaksaan dan terutama KPK untuk segera memproses perkara-perkara yang melibatkan korporasi.

Kesungguhan memberantas kejahatan korporasi tidak saja dinilai dari semangat penyusunan peraturan, namun diukur dari banyaknya korporasi yang dapat dipidana karena kejahatan yang dilakukannya.

Akhirnya, tidak salah juga bila publik menuntut komitmen penegak hukum terutama KPK untuk bekerja lebih berani "menjerat korporasi", apalagi KPK baru saja berulang tahun ke-13 menandai usianya yang semakin dewasa "happy belated birthday".

*) Penulis adalah Spesialis Hukum, Anggota Tim Penyusun Pedoman Penanganan Pidana Korporasi.

Oleh Rasamala Aritonang *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017