Jakarta (ANTARA News) - Pimpinan KPK mengungkapkan sejumlah alasan yang menyebabkan banyaknya kasus mangkrak atau berlarut-larut di tingkat penyidikan di lembaga penegak hukum tersebut.

"Alasan pertama kasus itu lama matang untuk dikirim ke penuntutan contohnya Pelindo karena sampai sekarang kami belum bisa final merumuskan besaran kerugian keuangan negara," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers "Capaian Kinerja KPK 2016 di gedung KPK Jakarta," Senin.

Dalam kasus Pelindo, KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka pada 15 Desember 2015 karena diduga memerintahkan pengadaan 3 quay container crance dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang. RJ Lino pun sudah diberhentikan sebagai Dirut PT Pelindo II pada 23 Desember 2015, tapi sampai saat ini status kasus tersebut belum jelas.

"Kami belum bisa memfinalkan perhitungan-perhitungannya dan kami mengirim beberapa penyidik ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok), jadi tidak ada maksud yang lain meski (tampak) kok lambat," tambah Agus.

Alasan lain menurut Agus adalah kurangnya jumlah penyidik yang terbatas apalagi ditambah dengan banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 2016 yaitu sebanyak 17 OTT.

"Nah beberapa kasus karena kapasitas orang yang sedang menangani ditimpa kasus OTT sehingga masih tertunda. Diharapkan dengan pertambahan banyak orang nanti kecepatannya bisa dipercepat. Kami selalu menyebut kasus-kasus itu sebagai utang kami dan mudahan kami segera akan menyelesaikan kasus-kasus signifikan tersebut," jelas Agus.

Penambahan jumlah penyidik tersebut menurut Agus berasal dari rekrutmen Indonesia Memanggil (IM) 11 dan 12 yang dilakukan sepanjang September sampai Desember 2015 lalu.

"Dari IM 11, KPK mendapat 131 pegawai dengan 1 penyidik baru yang berasal dari kepolisian dan 9 penyidik baru dari kejaksaan tapi kami masih akan minta lagi," jelas Agus.

Dari IM 12 juga akan diperoleh 400 pegawai yang semuanya akan mulai efektif bekerja pada 2017.

"Kasus-kasus yang mangkrak memang sebelum kami berlima di sini. Jadi itu cukup membebani kami dan mengapa kasus-kasus itu berlama-lama karena kebanyakan kasus yang berhubungan dengan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) dan pasal 2 dan pasal 3 ada perhitungan kerugian negara yang menghitungnya itu bukan KPK tapi melibatkan instansi lain apakah BPKP atau BPK misalnya kasus E-KPT, Pelindo, Siti Fadilah, gubernur Sultra juga kami sedang menunggu itu. Kalau (perhitungan kerugian negara) sudah selesai pasti segera naik (ke penuntutan)," tambah Agus.

Terdapat sejumlah kasus yang pada awal pimpinan KPK jilid IV menjabat belum ada kelanjutannya.

Selain kasus Pelindo, contoh kasus lain adalah kasus menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi terkait pembangunan Pusat Pendidikan Prasarana Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang tahun anggaran 2010-2012 dengan tersangka Choel Mallarangeng yang ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Desember 2016.

Dalam dakwaan mantan Menpora Andi Mallarangeng, Choel disebut sebagai perantara pemberian uang 550 ribu dolar AS kepada Andi dari mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Kemenpora Deddy Kusdinar.

Kasus lain adalah kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan suami Walikota Tangerang Selatan, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan sejak 2013 lalu. KPK sudah menyita puluhan mobil mewah milik Wawan ditambah dengan belasan bidang tanah di Bali.

Selanjutnya kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan bangunan dan konstruksi kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di kabupaten Agam, Sumatera Barat tahun anggaran 2011 dengan tersangka pejabat pembuat komitmen di Pusat Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Aset Sekretarian Jenderal Kementerian Dalam Negeri tahun 2011 Dudy Jucom dan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero) Budi Rachmat Kurniawan.

Kasus selanjutnya adalah perkara dugaan tindak pidana korupsi Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga tahun 2007-2010 dan pengadaan alat kesehatan RS Pendidikan Universitas Airlangga tahun 2009 dengan tersangka Fasichul Lisan yang merupakan rektor Unair 2009-2015. Negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp85 miliar dari total nilai proyek lebih dari Rp300 miliar.

Kemudian kasus tindak pidana korupsi pengadaaan alat kesehatan (Alkes) tahap I tahun 2007 dan korupsi pengadaan alat kesehatan "buffer stock" untuk kejadian luar biasa 2005 dengan tersangka mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Selanjutnya, kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian izin eksplorasi di kabupaten Buton dan Bombana periode 2009-2014 dengan tersangka Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Nur Alam mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

Masih ada kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan Wisma Atlet dan Gedung Serba Guna pemerintah provinsi Sumatera Selatan tahun 2010-2011 dengan tersangka Direktur Utama PT Duta Graha Indah Dudung Purwadi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Desember 2015 dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp54,7 miliar.

Kemudian ada kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (E-KTP) 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

KPK sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto. Kasus ini sudah dimulai sejak 22 April 2014.

Belum lagi penyelidikan terhadap Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) dalam pengadaan minyak pada 2012-2014 yang sudah ditangani KPK sejak 13 November 2015. Menurut temuan lembaga auditor Kordha Mentha yang mengaudit Petral, jaringan mafia migas telah menguasai kontrak suplai minyak senilai 18 miliar dolar AS selama tiga tahun.

Kemudian ada juga penyelidikan terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang diduga terlibat dalam pengurusan perkara Lippo Grup di PN Jakarta Pusat.

Pewarta: Desca Lidya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017