Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menyatakan Indonesia perlu mewaspadai aturan "trade remedy" yang telah disetujui oleh Parlemen Eropa dan European Council untuk menghambat laju impor dari semua negara anggota melalui tindakan antidumping dan antisubsidi.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dody Edward menyatakan bahwa Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan Trade Remedy tersebut pada akhir tahun 2016. proposal itu dinilai mengancam ekspor Indonesia ke Uni Eropa.

"Pemerintah mewaspadai hasil persetujuan parlemen Eropa. Penerapan modernisasi trade remedy tersebut bisa menghambat laju ekspor Indonesia ke Uni Eropa," kata Dody, dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin.

Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy tersebut pada 13 Desember 2016 setelah diusulkan Komisi Uni Eropa sejak 2013. Proposal itu dilatarbelakangi makin tingginya serbuan produk-produk murah asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT), seperti produk baja.

Akibatnya, industri domestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar. Uni Eropa juga secara khusus mengacu kepada Amerika Serikat (AS) yang telah menerapkan praktik serupa dalam aturannya.

Komisi Uni Eropa antara lain akan menghapus aturan lesser duty. Uni Eropa secara konsisten menerapkan prinsip lesser duty dan membuat Uni Eropa berbeda secara signifikan dengan AS.

Aturan lesser duty memungkinkan pengenaan tingkat bea masuk antidumping dengan besaran (level) yang lebih kecil dari margin dumping yang ada, sepanjang besaran tersebut dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.

Hadang impor

Dody menambahkan, aturan lesser duty dihilangkan terutama untuk menghadang impor dari negara yang dianggap memiliki situasi pasar tertentu yang mendistorsi harga bahan baku. Negara berkembang seperti Indonesia perlu berhati-hati dan mengantisipasi seandainya Indonesia dianggap memiliki situasi pasar tertentu itu.

"Kepada negara-negara dengan kondisi tersebut, Uni Eropa akan menerapkan metode baru dalam menghitung besaran dumping," ujar Dody.

Otoritas Uni Eropa, lanjut Dody, akan menolak menggunakan harga atau biaya produksi yang berlaku di negara tersebut, serta memilih menggunakan harga referensi di negara lain yang dianggap tidak terdistorsi sebagai pembanding dalam menentukan besaran dumping.

"Hal ini akan mempermudah Uni Eropa atau AS menggunakan data dari negara ke-3 untuk menetapkan besaran dumping yang menyebabkan menggelembungnya margin dumping," lanjut Dody.

Kondisi situasi pasar tertentu pada suatu negara diindikasikan dengan peran dominan pemerintah atau BUMN dalam pengadaan barang dan jasa, pengendalian harga, pemberian jenis subsidi yang dilarang, kebijakan harga berganda dan pajak ekspor.

"Otoritas Uni Eropa dikhawatirkan akan menilai kondisi suatu pasar di suatu negara secara tidak objektif," ujar Dody.

Kemendag akan menyosialisasikan rencana tersebut kepada eksportir Indonesia tujuan Uni Eropa dan bersama-sama dengan para pemangku kepentingan guna melakukan advokasi secara optimal kepada para eksportir Indonesia yang terkena tuduhan trade remedy.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati mengungkapkan bahwa produk unggulan Indonesia sebenarnya telah dirugikan oleh aturan serupa yang lebih dahulu berlaku di AS, salah satunya adalah produk kertas.

"AS menganggap Pemerintah Indonesia memberikan subsidi melalui kebijakan kehutanan Indonesia dan larangan ekspor kayu bulat (log) yang berkontribusi menekan harga kayu sebagai bahan baku kertas," kata Pradnyawati.

Kondisi tersebut membuat Otoritas AS menentukan besaran dumping menggunakan harga kayu di negara lain sebagai pembanding yang notabene memliki harga jual yang jauh lebih tinggi.

Jika Uni Eropa menerapkan hal serupa, lanjut Pradnyawati, maka tuduhan antidumping dan antisubsidi terhadap produk unggulan Indonesia akan semakin gencar dilakukan. Karena baik Uni Eropa maupun AS merupakan pengguna aktif instrumen trade remedies.

"Proposal kebijakan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh stakeholder mengingat Uni Eropa merupakan pasar strategis bagi produk ekspor Indonesia, seperti produk agro, produk perikanan, serta produk hasil kehutanan seperti pulp dan kertas," kata Pradnyawati.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017