Jakarta (ANTARA News) - KPK sedang mempelajari peran 180 orang yang disebut dalam putusan majelis hakim berkekuatan hukum tetap sejak lembaga itu berdiri pada 2003.

"Kami kemarin sudah inventarisasi, ada 180-an orang yangsudah disebut dalam putusan hakim terlibat dalam tindak pidana korupsi. Kami melakukan evaluasi, apakah ke depan mereka akan diproses KPK atau kita limpahkan ke aparat penegak hukum yang lain penanganannya nanti karena beban kerja di KPK sudah banyak," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers bertema "Capaian Kinerja KPK 2016 di gedung KPK Jakarta," Senin.

Orang-orang tersebut masuk dalam putusan majelis hakim karena penggunaan 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu berkaitan dengan penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana yang rumusan lengkapnya adalah "Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana, mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan".

"Perkara-perkara itu menyangkut pasal 55 dan akan dikoordinsikan dengan kejaksaan dan kepolisian," tambah Alex.

Hal yang perlu didalami menurut Alex adalah apakah niat orang-orang tersebut sama dengan para tersangka dan terpidana.

"Belum jadi (perannya) karena masih perlu pendalaman apakah layak untuk dinaikkan karena belum tentu yang masuk pasal 55 itu menjadi tersangka dan terpidana dalam arti punya niat yang sama dengan pelaku yang sudah dihukum itu makanya perlu dilakukan pendalaman lagi," ungkap Alex.

Mantan hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu mencontohkan adanya sejumlah pihak yang disebut dalam putusan majelis hakim dalam perkara kasus tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Misalnya dari kasus century kan ada banyak tuh kita ingin dalami lagi apa sih masing-masing keterlibatan mereka turut serta itu apa, apakah layak dinaikkan," tambah Alex.

Dalam putusan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya disebutkan bahwa Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Dubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjriah, S Budi Rochadi, Harmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono dan Ardhayadi Mitroatmodjo masing-masing selaku Deputi Gubernur BI dan saksi Raden Pardede selaku sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) masuk dalam unsur penyertaan bersama-sama melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 55 KUHP.

Siti adalah mantan Deputi Bidang V Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah Bank Indonesia yang meninggal dunia karena sakit pada 16 Juni 2015 pukul 20.30 WIB.

Dalam kasus ini, baru satu orang yang diproses hukum yaitu mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa BI Budi Mulya.

Budi Mulya telah dijatuhi hukuman berkekuatan tetap pada 8 April 2015 yaitu penjara selama 15 tahun dan denda Rp1 miliar subsider delapan bulan kurungan.

Majelis hakim agung yang terdiri atas Artidjo Alkostar sebagai ketua dan anggota M. Asikin dan MS. Lumme menilai pemberian persetujuan penetapan pemberian FPJP kepada PT Bank Century oleh Budi Mulya dilakukan dengan itikad tidak baik yang dilakukan dengan cara melanggar pasal 45 dan penjelasannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 tahun 2004. Konsekuensi yuridisnya, perbuatan Budi merupakan perbuatan melawan hukum.

Perbuatan tersebut juga menyebabkan kerugian negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang pertama kali pada 24 November 2008 hingga Desember 2013 sejumlah Rp8,012 triliun.

(D017/A011)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017