Jakarta (ANTARA News) - Dalam "tamasya"-nya sebagai penulis dan sutradara, Ben Affleck menunjukkan kemampuannya menampilkan ketegangan, keberanian, bahkan bisa dibilang lebih dari itu, di era "kejahatan" Amerika Serikat pada 1920-an.

Live by Night berangkat dari masa pelarangan memproduksi dan menjual minuman keras di Amerika Serikat pada 1920 hingga 1933 yang menimbulkan "gerakan bawah tanah" di mana muncul gangster dan polisi korup.

Film drama kriminal tersebut kemudian datang dengan Affleck sendiri sebagai pusat cerita di mana dia berperan sebagai pria tangguh yang mencoba memahami perasaannya tentang "benar dan salah" dalam penampilan yang kalem tanpa banyak action.

Berada di bawah bendera Warner Bros, yang menjadi kendaraan bagi Leonardo Di Caprio untuk memproduseri Live by Night, Affleck mengadaptasi novel karya Dennis Lehane berjudul sama yang dirilis pada 2012 dan memenangkan Edgar Award untuk novel terbaik 2013.

Ini bukan kali pertama Affleck bertindak sebagai sutradara. Aktor yang melejit lewat film Armageddon (1998) itu sebelumnya juga pernah mengadaptasi novel Dennis Lehane Gone Baby Gone yang dibintangi oleh adiknya Casey Affleck.

Mengikuti kesuksesan Gone Baby Gone (2007), Warner Bros memutuskan untuk menjalin kedekatan dengan Affleck dengan menawarkan untuk menyutradarai film The Town (2010), adaptasi dari novel Prince of Thieves karya Chuck Hogan.

Affleck kembali menjadi sutradara untuk proyek film Warner Bros Argo (2012) yang berhasil menjadi film terbaik di berbagai penghargaan bergengsi seperti  Academy Award, Golden Globe Award dan BAFTA Award.



Ben Affleck (kiri) dan Chris Messina (kanan) dalam film "Live by Night"


Dirilis di Amerika Serikat pada 25 Desember 2016 dan akan diputar secara luas di layar lebar pada 13 Januari 2017, Live by Night nampaknya diluncurkan pada saat yang tepat di mana Amerika Serikat baru saja menggelar pemilihan presiden pada bulan sebelumnya, dan pelantikan presiden terpilih, Donald Trump, pada bulan berikutnya.

Pasalnya, kebangkitan gerakan "kulit putih" yang kembali dikibarkan Trump mungkin menjadikan film ini lebih menarik perhatian di mana karakter Affleck, Joe Coughlin, melawan gerakan "anti kulit hitam" yang digunakan untuk mengintimidasi pemilih kulit hitam dan pendukung kulit putih untuk Partai Republik pada masa itu.

Kecewa dengan pengalamannya sebagai seorang prajurit dalam Perang Dunia I, Coughlin, anak dari kepala polisi Boston, kembali ke Boston sebagai penjahat, dan bersumpah untuk tunduk pada otoritas lagi.

Setelah 10 tahun menjadi perampok, dia didekati kepala gangster berdarah Irlandia Albert White (Robert Glenister) untuk membantu dalam perang melawan mafia Italia yang dipimpin oleh Maso Pescatore (Remo Girone).

Joe menolak, namun kemudian terperangkap masuk ke dalam kejahatan terorganisir tersebut karena hubungan gelapnya dengan nyonya White, Emma Gould (Sienna Miller).

Mengetahui kesulitan anaknya, ayah Joe, kepala polisi deputi intelijen Thomas Coughlin (Brendan Gleeson), mencoba untuk menjauhkan anaknya dari gangster tersebut. Namun, hal itu tidak berjalan baik ketika Joe gagal merampok bank dan akhirnya dipenjara.

Film yang didominasi senjata api dan menampilkan pembunuhan berdarah, yang pastinya hanya layak ditonton orang dewasa, seketika membuat sedikit menahan air mata saat seorang penegak hukum yang jujur meracuni dirinya dengan pilihan kehidupan anaknya, namun terikat dengan rasa cintanya kepada sang anak.

Bebas dari penjara, Joe bertekad untuk menyelesaikan perhitungannya dengan White, yang telah pindah ke Miami untuk mengelola sindikat rum yang berjalan di Florida.

Melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak pernah bekerja dengan mafia, Joe bersepakat dengan Pescatore untuk mengelola bisnisnya di Florida. Bersama teman setianya Dion Bartolo (Chris Messina), dia pindah ke Tampa, di mana dia mendapatkan kepercayaan dari orang Kuba di Ybor City.

Dia jatuh cinta dengan imigran Kuba kulit hitam Graciela Suarez (Zoe Saldana) yang menjadi target cibiran orang Klan R.D. Pruitt (Matius Maher), adik ipar dari sheriff setempat Irving Figgis (Chris Cooper).

Joe mengancam Figgis menggunakan putrinya Loretta (Elle Fanning), yang tanpa sepengetahuan Figgis menjadi pengguna narkoba, untuk mendapatkan R.D. Loretta kemudian bertobat dan menjadi pengkhotbah mengutuk rum dan perjudian yang menuntunnya ke dalam lembah gelap narkoba. Khotbahnya yang menjadi terkenal itu menyulitkan rencana Joe untuk membuka kasino Pescatore.

Sementara Cooper diberi keleluasaan untuk mengembangkan karakter Figgis, yang dalam beberapa hal mirip dengan karakter ayah Joe Thomas Coughlin, Fanning hanya diberi sedikit scene untuk melakukan transformasi karakternya.

Graciela juga kehilangan pendalaman karakter sebagai revolusioner dalam membela perempuan dan anak-anak Kuba yang terlantar. Meski demikan, Saldana berhasil memainkan karakter tersebut. Sedangkan akting Messina yang sombong dan "sok keren" membuat karakter Dion lebih mengasyikkan.



Ben Affleck, penulis dan sutradara Live by Night


Affleck tidak dalam performa terbaiknya dalam film ini. Dia terlihat kurang "greget" memainkan seorang pria yang melihat dirinya sebagai seorang penjahat yang seenaknya sendiri.

Tidak seperti tiga film yang dia sutradarai sebelumnya, yang diganjar sebagai unggulan dalam berbagai kategori di sejumlah ajang penghargaan film bergengsi, film tersebut bahkan tidak masuk dalam daftar unggulan kategori mana pun di Golden Globes 2017.

Affleck terkesan menjejalkan seluruh isi novel ke dalam layar lebar. Live by Night terbilang memiliki durasi yang cukup lama (sekitar 120 menit). Untungnya, tulisan Lehane yang penuh dengan kompleksitas moral membuat film tersebut menarik dan memiliki jalan cerita yang sulit ditebak.

Secara keseluruhan, Live by Night hiburan yang cukup padat, namun kurang aksi jahat atau narasi yang kuat untuk membuat film tersebut dapat diingat.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017