"La La Land" menarik untuk ditonton karena ada adegan saat para tokoh menyebut keindahan pariwisata Indonesia. Apakah ini berarti Hollywood semakin melirik Indonesia? Kita tunggu saja.
Jakarta (ANTARA News) - Jika Anda menyukai "La La Land", maka Anda jatuh cinta pada pandangan pertama. Sang sutradara film musikal tersebut, Damien Chazelle, membuat terpana pada awal menit pertama dengan luar biasa kental rasa musikal.

Dibuka dengan scene kemacetan: salah seorang pengemudi keluar dari mobilnya membunuh bosan dengan mulai bernyanyi dan menari. Kemudian seseorang ikut bernyanyi dan menari bersama dia, lalu orang yang lain, orang lainnya lagi, hingga rasa bosan dalam kemacetan berubah menjadi menyenangkan, dan jalanan disulap menjadi setting produksi film musikal di mana orang-orang bernyanyi dan menari bersama.

Chazelle menyuguhkan musik jazz dengan semangkok lirik dan sepiring koreografi dalam hidangan soundtrack film produksi Summit/ Lionsgate tersebut. Nada dan narasi para pemain kemudian menari bersama menggoyang lidah penonton.

Jazz nampaknya menjadi favorit sutradara muda berusia 31 tahun tersebut. Debut sebagai sutradara dalam film musikal  "Guy and Madeline on a Park Bench" (2009), Chazelle kemudian membuat film tentang hubungan antara murid jazz yang ambisius dengan gurunya yang kejam, "Whiplash" (2014).

Sukses dengan "Whiplash" yang membawa pulang tiga piala Oscar dan diunggulkan dalam dua kategori di Academy Awards 2015, lulusan Harvard itu kemudian menulis dan menyutradarai "La La Land".


(Produser film La La Land Gary Gilbert dan para pemeran film  Emma Stone and Ryan Gosling, sutradara Damien Chazelle, produser Jordan Horowitz dan lain-lain)

Seperti drama musikal kebanyakan, "La La Land" berporos pada kisah sederhana tentang seorang perempuan bertemu laki-laki kemudian mereka jatuh cinta, dan disitu timbul konflik. Namun, kemampuan musik, tari dan akting dua pemeran utama, Emma Stone dan Ryan Glosing, membuat kisah sederhana itu kompleks.

Mia (Emma Stone) bekerja di sebuah kafe di studio Warner Bros, bercita-cita menjadi aktris dengan rajin mengikuti berbagai audisi, sementara Sebastian (Ryan Glosing) seorang pianis berbakat yang jatuh cinta pada musik jazz, bercita-cita untuk membuat klub jazz-nya sendiri.

Dengan kata lain, keduanya mewakili ribuan orang lainnya yang mengadu nasib di Hollywood sana. Mungkin ini juga yang mendasari film tersebut diberi judul "LA LA", kepanjangan dari Los Angeles di mana Hollywood merupakan salah satu distrik di dalamnya.

Keduanya juga menggambarkan sebuah kepercayaan tentang "American Dream" atau mimpi orang Amerika yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Dimainkan dalam empat musim, kisah cinta mereka dimulai. Tidak sengaja bertemu di musim dinggin, mereka kemudian tanpa sengaja bertemu di sebuah pesta di musim semi. Usai pesta di penghujung senja mereka kembali bertemu saat Sebastian menemani Mia mencari mobilnya.

Pemandangan senja dari atas bukit memulai benih-benih asmara keduanya. Scene yang artistik (dengan warna langit yang lembut orange-keunguan) dan romantis menjadikan film tersebut sangat indah. Tak hanya itu, musik, lirik, gerak dan tari keduanya, ditambah dress kuning Mia, menjadikan scene tersebut ikonik dan mudah dikenang.

Hubungan keduanya menjadi rumit saat Mia harus berjuang untuk meraih mimpinya tanpa kehadiran Sebastian yang bergabung dengan band milik Keith (John Legend) yang sukses menggelar tur.

Konflik muncul tak hanya pada hubungan keduanya, namun juga pada diri mereka masing-masing: Mia tetap pada pendiriannya untuk mengejar cita-citanya sebagai aktris, sementara Sebastian menyerah pada musik jazz yang klasik dengan menjadi keyboardis band jazz yang kekinian.

Cara Chazelle mengakhiri film juga tida umum ditemui di film lainnya, dengan flashback selama 5-10 menit menceritakan ulang versi lain dari film berdurasi 128 menit itu.


(Sutradara Damien Chazelle memegang anugerah yang diraihnya sebagai Sutradara Terbaik - Film "La La Land" dalam anugerah tahunan Golden Globe ke 74 di Beverly Hills, California)

Chazelle nampaknya paham benar bagaimana membuat sebuah film yang ringan tapi mendalam. Dia tahu bagaimana membawa dan mengemas tari dan lirik untuk bergerak dalam alur musikal mulai dari setting natural hingga fantasi.

Dua pemeran utama juga bisa dikatakan klop dengan arahan Chazelle. Dengan kemampuan aktinya, Stone berhasil menghidupkan emosi dalam karakter Mia, sementara Gosling dengan kemampuan piano yang dia pelajari selama tiga bulan sukses meyakinkan penonton bahwa dia adalah seorang pianis berbakat.

"Piano adalah sesuatu yang saya selalu harap dapat pelajari, saat hal itu ada dalam bagian dari pekerjaan saya, duduk di depan piano selama tiga bulan dan memainkannya adalah saat yang paling bebas yang saya miliki selama pre-produksi yang pernah saya lakukan," kata Gosling dalam video dibalik layar pembuatan "La La Land" yang diunggah Lionsgate di YouTube.

Kolaborasi apik terjalin mulai dari composer Justin Hurwitz, desainer produksi David Wasco dan desainer kostum Mary Zophres, yang membuat film tersebut tak hanya memanjakan mata, tetapi juga telinga. Paket komplit yang menghibur, bahkan bagi mereka yang tidak menyukai genre musikal sekalipun.

Tak heran film tersebut berhasil membawa pulang tujuh Golden Globes 2017, dan menjadi unggulan dominan BAFTA Awards 2017 untuk 11 kategori, termasuk sutradara terbaik, film terbaik dan aktor dan aktris terbaik.


(Infografis "La La Land" yang telah memborong tujuh Golden Globes 2017)


Dirilis di Venice Film Festival pada 31 Agustus 2016 dan meluncur di United States pada 9 Desember 2016, "La La Land" menggebrak bioskop Tanah Air sehari setelah Golden Globes digelar, 10 Januari 2017.

Selain karena hal-hal di atas, "La La Land" menarik untuk ditonton karena ada adegan saat para tokoh menyebut keindahan pariwisata Indonesia. Apakah ini berarti Hollywood semakin melirik Indonesia? Kita tunggu saja.

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017