Jakarta (ANTARA News) - Sarung, kain yang dililit di bagian pinggang, seakan meningkat gengsinya kala Presiden Joko Widodo mengenakan pada kunjungan kerja beberapa waktu lalu.

Perancang busana Sizzy Matindas menyebut bukan tak mungkin mengenakan sarung atau busana bermaterial sarung menjadi tren mode layaknya kemeja putih atau jaket bomber yang pernah Jokowi kenakan.

"Dia itu trendsetter lho. Saat mengenakan kemeja putih, orang-orang juga mengenakan baju serupa. Dia kembali pakai peci, semua juga memakainya. Dia berbatik, semua orang booming mengenakan batik. Sekarang sarung," kata Sizzy.

Dia mengatakan, mengenakan sarung seperti yang dicontohkan Jokowi telah mengangkat kembali budaya yang telah masyarakat Indonesia miliki sejak lama.

"Sejak dulu orang-orang Indonesia sudah memakai sarung. Yang sudah terbiasa pakai sarung merasa 'Presiden saja pakai sarung, kenapa kita enggak'. Dia mengangkat kembali sesuatu yang sebenarnya orang Indonesia sudah miliki," tutur dia.

"Kepala negara yang mengenakan itu membuat kita menyadari seperti itulah budaya kita. Kita sebelumnya memang mengenakan itu, lalu presiden kita mengenakannya juga, muncul rasa bangga," sambung Sizzy.

Lalu, sebenarnya kapan penggunaan sarung marak dalam masyarakat Indonesia? Budayawan Yahya Adi Saputra mengungkapkan, tradisi bersarung salah satunya berawal dari kebiasaan orang-orang tradisionalis atau kaum sarungan di wilayah Jawa.

Dalam bukunya, "Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa", antropolog Cliffort Geertz menyebutkan kaum santri identik dengan pelaksanaan ritual-ritual pokok agama Islam.

"Orang-orang tradisionalis disebut kaum sarungan. Jelas ini mengacu kepada ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang dalam kesehariannya menggunakan sarung. Buku Cliffort Gertz (1950-an) jelas membahas ini," kata dia.

Tak hanya masyarakat Jawa, tradisi bersarung juga dilakukan masyarakat Betawi. Yahya mengatakan, fungsi sarung dalam perspektif kebudayaan Betawi tak sekedar pelengkap dalam beribadah tetapi juga untuk berbagai ekspresi lainnya.

"Dalam perspektif kebudayaan Betawi, fungsi sarung kemudian bukan hanya digunakan untuk menghangatkan tubuh. Tetapi juga untuk berbagai ekspresi. Sarung sebagai senjata, juga sebagai pelengkap estetika berbusana secara tadisional. Lebih kuat dari itu dijadikan sebagai identitas," jelas dia.

Tradisi mengenakan sarung namun lebih kepada pelengkap berbusana juga dikenal masyarakat Bugis Pagatan, Kalimantan Selatan, masyarakat di Sumatera, NTT, NTB, Sulawesi dan Bali.

Seiring waktu berjalan, para perancang busana tanah air sekitar tahun 2012 mulai melirik sarung menjadi bagian dalam karya mereka. Sebut saja Ali Charisma, Musa Widyatmodjo dan Tri Handoko dan Phillip Iswardono.

Pengamat mode Susan Budihardjo menyebut sarung yang awalnya terkesan tradisional bisa dipadankan dengan busana lainnya sehingga memunculkan "rasa" trendi.

"Walau bagaimana pun kita kan harus mengikuti tren, jadi sarung tradisional kan juga bisa dipakai jadi terkesan gaya. Sarung bisa jadi dress atau atasan, di-drapped lalu dipadupadan dengan baju-baju lain," tutur dia.

Yahya menyebut hal ini sebagai pergeseran secara artistik dan ekonomis. "Itu namanya inspiring buat pelaku ekonomi kreatif. Bagus buat anak muda kreatif. Pergeseran kepada manfaat secara artistik dan ekonomis," kata dia.

Hanya sayang, sekalipun dunia mode sudah mengakui pesona sarung sebagai bagian dari busana masa kini, sarung belum populer di kalangan anak muda.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017