Jakarta (ANTARA News) - Satu yang mendongkel pikiran sarat pertanyaan - setelah laga imbang 1-1 antara Manchester United (MU) kontra Liverpool di Stadion Old Trafford pada pertandingan pekan ke-21 Liga Inggris (Premier League) pada Minggu (15/1/2017) - adakah memang Jose Mourinho telah, sedang dan terus menghancurkan taktik ia racik selama ini?

Sebut saja post-Mourinho. Artinya, pelatih berpaspor Portugal ini sedang melakonkan tokoh paradoksal. Ia secara mumpuni sedang menyibukkan diri dengan pasar gagasan yang laris manis di awal abad ke-21, bahwa segala hal yang mapan perlu dipertanyakan bahkan digugat habis-habisan.

Sosok berjuluk the Special One itu menjawab lantang dengan menyebut "ya" bahwa ia telah, sedang dan terus meneror taktik yang dirancangnya dari satu pertandingan ke pertandingan.

Pertandingan sepak bola, di mata Mourinho, bukan lagi drama modern-pencerahan yang menganggap bahwa setiap laga berciri sama dan seragam. Sepak bola memuat bobot kabaruan yang dicirikan oleh kemerdekaan bagi masing-masing orang untuk berkisah dan bercerita.

Ini dibuktikan ketika pelatih MU itu menjungkirbalikan taktik "gegenpressing" yang diterapkan Juergen Klopp bagi Liverpool. Serta-merta, media massa Inggris ramai-ramai melabel taktik Mourinho sebagai "taktik bintang lima" (Five-Star Tactics).

Tabiat media massa Inggris lantas berbalik 180 derajat setelah sebelumnya mereka beranggapan bahwa Mourinho menerapkan gaya sepak bola bertahan total, yang kerapkali disebut sebagai gaya memarkir bus di lini pertahanan.

Media massa setempat tidak tanpa alasan. Mereka menunjuk bahwa Wayne Rooney dan kawan-kawan sedang dilanda paceklik gol ketika menghadapi seterus lawasnya. United hanya mampu melesakkan lima gol dalam lima laga terakhir mereka.

Mourinho menjungkirbalikkan penilaian media massa Inggris. Ia mengomando anak asuhannya untuk tampil menyerang yang menjadi ciri khas skuad Iblis Merah manakala diasuh manajer gaek Alex Ferguson.

"Ideologi" Old Trafford yakni menyerang dan menyerang sebagaimana diteriakkan fans United. Dan Mourinho telah memahami dan sedang menghidupi ideologi itu karena ia tidak ingin tercerabut dari akar sejarah perjalanan klub.

Di mata dan di hadapan post-Mourinho, semua kegiatan mencari untuk menemukan kebenaran tidak dapat lepas dari tafsiran kelompok tertentu. Segala taktik bersifat nisbi dan tidak niscaya, karena itu bersifat sementara saja.

Di sinilah, pelatih United itu berperan sebagai guru yang baik bagi media massa Inggris. Banyak versi, banyak paham, banyak pemikiran, dan banyak konteks, inilah saripati post-Mourinho ketika mengarungi amuk samudera Liga Inggris.

Setelah didapuk membesut United menggantikan pelatih asal Belanda Louis Van Gaal, tanpa keraguan sedikit pun Mourinho memproklamasikan "ideologi" sepak bola menyerang dengan mengandalkan kecepatan dan kelugasan para pemain bertipe winger. Tujuannya satu, lakukan serangan balik dengan cepat ke jantung pertahanan lawan.

Klopp menjadi korban dari ideologi post-Mourinho. Ashley Young bersama Anthony Martial kerapkali memerankan taktik Mourinho itu. Pemain sayap dituntut mampu bertahan dan menyerang sama baiknya, meski hanya Martial yang diturunkan ketika menghadapi Liverpool. Pemain bernomor punggung 11 itu akhirnya digantikan oleh Juan Mata pada menit ke-65.

Hanya saja taktik Mourinho tidak berjalan mulus. Penampilan Paul Pogba jauh dari harapan. Pemain asal Prancis itu tidak mendukung sepenuhnya pergerakan pemain sayap dengan cepat dan sigap menghadapi sepak bola "gegenpressing" Klopp.

Di sinilah kejelian Mourinho memilih pemain sesuai dengan keperluan. Pelatih berpaspor Portugal bukan sosok yang dogmatis dan ideologis, artinya tidak ingin terpaku dan terpateri kepada kehendak dan kemauan pribadi. Ia tidak mengganggap diri sendiri sebagai satu-satunya pemegang kuasa kebenaran.

Post-Mourinho ingin mengkritik manusia jaman ini. Di satu pihak, kuasa kebenaran tidak pernah berjalan gamblang karena selalu luput untuk digenggam; di lain pihak, manusia juga tidak dapat hidup tanpa menentukan mana yang benar dan mana yang keliru.

Untuk menjadi manusia yang mampu menjawab laju tantangan lokomotif jaman, Mourinho mengajak publik dunia untuk menilik masa lalu kemudian melesat membelah waktu dengan mengalahkah kemauan dan kehendak pribadi.

Demi kejayaan United, justru Mourinho menelusur akar kekuatan pertahanan Liverpool, yang salah satunya ada dalam diri ful-bek James Milner. Ia banyak ditopang oleh Henderson yang tidak jarang berperan sebagai gelandang serang.

Dengan jeli, Mourinho menggelontorkan serangan balik dari lini kiri pertahanan Liverpool dengan mengandalkan pergerakan supercepat dari Henrikh Mkhitaryan. Di sinilah, Ibrahimovic dengan leluasa bergerak karena mendapat sokongan dari tiga gelandang serang, sebagaimana ditulis oleh pandit Alex Keble dari laman Sporting Life.

Terang benderang, bahwa pergerakan pemain asal Armenia itu banyak menyulitkan Milner dalam duel satu lawan satu. Milner kerap terlambat mengantisipasi dan menutup pergerakan Mkhitaryan. Dan Klopp justru abai dengan menurunkan Daniel Sturridge yang tidak jarang minim dalam penguasaan bola untuk mendukung pergerakan rekan pemain.

Post-mourinho sekali lagi menegaskan bahwa sepak bola memeragakan kerjasama tim dan bersifat saling terhubung. Kebangkrutan merupakan bayaran kontan bagi mereka yang terlalu percaya diri.

Sepak bola bukan hal yang terputus dari bentang sejarah. Mereka yang melupakan sejarah hanya ingin meneguhkan dirinya sebagai sosok yang terbelah antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diperbuat. Ujung-ujungnya, ia memeluk ilusi layaknya "mimpi di siang bolong"

Mourinho boleh dibilang secara gilang gemilang berguru kepada filosof F. Nietzsche yang memproklamasikan bahwa kebenaran hanyalah ilusi yang sudah dilupakan bahwa hal itu sekedar bunga-bunga mimpi di nyenyak tidur siang.

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017