Wonosobo (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan bibit kentang dengan biaya lebih murah melalui teknologi exvitro di dataran tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Kepala BPPT, Unggul Priyanto di Wonosobo, Jumat, mengatakan teknologi exvitro adalah perbanyakan bibit sesuai dengan sifat induknya dengan cara yang lebih sederhana.

"Dengan demikian, petani bisa memanfaatkannya meskipun dengan keterbatasan alat maupun pengetahuan," katanya usai pembukaan pelatihan aplikasi teknologi exvitro untuk perbanyakan bibit kentang pada petani kentang Wonosobo.

Ia mengatakan dengan adanya teknologi ini diharapkan biaya pembuatan bibit kentang lebih murah dan sederhana.

Menurut dia biaya budidaya kentang 30 persen habis untuk pengadaan bibit, dengan cara ini biaya pengadaan bibit bisa dipangkas menjadi 15 persen dari total biaya budidaya.

Ia mengatakan kentang itu biaya bibitnya mahal, dengan teknologi ini biaya yang dikeluarkan untuk budidaya kentang bisa turun sehingga keuntungan lebih banyak dinikmati petani.

"Melalui teknologi exvitro, diharapkan petani mendapat bibit yang kualitasnya lebih bagus, perbanyakannya juga lebih cepat, lebih sederhana, dan biaya lebih rendah," katanya.

Deputi Bidang Teknologi Agroindustridan Bioteknologi BPPT, Eniya Listiyani Dewi mengatakan kebutuhan benih kentang rata-rata per tahun sebanyak 108 ribu ton untuk area budidaya kentang seluas 72.000 hektare, sedangkan ketersediaan benih kentang bersertifikat nasional saat ini baru mencapai 15 persen sehingga masih terbuka untuk memenuhi kebutuhan bibit kentang dalam negeri.

Ia mengatakan biaya pengadaan benih kentang cukup tinggi, sehingga petani terkadang memilih menyisihkan sebagian hasil panen untuk benih musim tanam berikutnya. Hal ini menyebabkan rendahnya produksi kentang.

Ia menuturkan masalah utama dalam produksi kentang ialah mahalnya harga bibit, karena sulitnya mendapatkan lahan bersih dari penyakit tular tanah untuk produksi benih padahal perkiraan biaya penggunaan bibit kentang di beberapa negara berkembang mencapai 55 persen dari total biaya produksi usaha tani kentang.

Budidaya tanaman kentang di Indonesia saat ini masih menggunakan benih yang berasal dari sisa kentang konsumsi, calon benih dipilih berdasarkan ukuran umbi dengan kisaran 30-60 gram per umbi. Oleh karena itu, katanya peningkatan mutu benih lokal sangat diperlukan untuk menghindari ketergantungan akan impor benih.

Ia mengatakan permasalahan pengembangan produksi benih kentang di Indonesia karena rendahnya produktivitas penangkaran di petani, karena teknologi perbenihan belum dikuasai, meningkatnya harga sarana produksi, terutama pestisida dan maraknya pestisida palsu dan keterbatasan lahan yang memenuhi persyaratan sertifikasi untuk penangkaran benih.

Ia menuturkan untuk meningkatkan adopsi teknologi dan pengetahuan petani tentang perbanyakan bibit kentang secara ex vitro, BPPT melaksanakan pelatihan ini.

Pada pelatihan kali ini, katanya peserta akan mendapatkan pembekalan dari para narasumber berupa materi perbanyakan bibit secara exvitro dan melakukan praktik perbanyakan bibit kentang seara exvitro.

"Dengan adanya pelatihan ini diharapakan adopsi teknologi hasil kajian litbang meningkat dan semakin banyak petani yang dapat melakukan penyediaan bibit tanaman kentang berkualitas," katanya.

Pewarta: Heru Suyitno
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017