Jakarta (ANTARA News) - Luis Aspas Milla, berpaspor Spanyol, berpengalaman dalam berkutat bersama gaya filosofi tiki taka Barcelona, definitif membesut tim nasional Indonesia untuk durasi dua tahun.

Selamat datang Milla, selamat datang sepak bola Matador, yang mengandalkan permainan ofensif berbasis penguasaan bola plus operan-operan pendek dan cepat untuk merangsek pertahanan lawan.

Sihir Milla demikian bertuah berbekal tiki taka membelah langit-langit atmosfer sepak bola sedunia. Pria yang lahir di Teruel, Spanyol, pada 12 Maret 1966 itu memiliki segudang pengalaman mengasuh timnas Spanyol untuk empat jenjang usia, yaitu U-23, U-21, U-20, dan U-19.

Hasil kerjanya mengkilap ketika menangani La Rojita, julukan Spanyol muda. Menjadi arsitek empat tim muda itu, ia melakoni 38 laga dengan merangkum 28 kemenangan dan empat hasil imbang.

Puncak capaian prestasinya sebagai pelatih diraih ketika membawa Spanyol menjadi kampiun Piala Eropa U-21 2011 di Denmark, dengan melesakkan sebelas gol dalam liga duel.

Sebagai pemain, ia menempati posisi sebagai gelandang bertahan. Sederet tim papan atas Liga Spanyol, pernah ia cicipi dan geluti, sebut saja Barcelona (1985-1990), kemudian Real Madrid hingga 1997. Pada 1997 sampai 2001, Milla membela Valencia. Pada 1989-1990, ia memperkuat timnas Spanyol.

Sederet prestasi, segepok pengalaman, dan seonggok pengetahuan, serta merta PSSI memberi kepercayaan kepada Milla. Tugasnya tidaklah ringan, yakni membangun timnas Indonesia U-23 agar meraih prestasi menjulang di ajang SEA Games 2017 hingga Asian Games 2018, selain menakhodai timnas senior di 10 pertandingan persahabatan.

Tentunya, Milla bukan pelatih yang membawa tongkat sihir layaknya tokoh Harry Potter. Kata bertuah "abrakadabra" tidak serta merta menyertai perjalanan kariernya sebagai pelatih.

Ia menelan pil pahit ketika luput membawa Spanyol agar lolos dari fase grup di Olimpiade 2012. Ia hanya bercokol delapan bulan sebelum didepak oleh Al Jazira, sebuah klub Uni Emirat Arab.

Milla meraih hasil negatif bersama klub Lugo di Segunda Division dan tidak merengkuh sukses bersama Zaragoza di level berikutnya. Dan sejarah berujar, dalam petuah Latin klasik "fugit irreparabile tempus", yang artinya waktu berlari terus tanpa dapat terkendali.

Waktu mengadili, hasil kerja aktual memvonis. Tanpa perlu berkoar dengan kredo "ini yang baru, ini yang baru", maka silakan belajar dari sejarah. Tidak perlu mentereng dengan meminjam istilah serba milenial yang tidak diketahui asal usul dan dampak terusannya, maka sepak bola bermuara kepada satu rumus besar bernama "sistem".

Sistem - atau baca saja "tiki taka" - yang diusung, dialami dan diamini oleh Milla, sejatinya mengandalkan penguasaan bola dan memeragakan umpan-umpan pendek.

Sistem berlabel tiki taka memerlukan filosofi sepak bola dengan nama besar sistem otomatisasi, yang menuntut pemain cermat dan jeli membuka ruang ketika tidak menguasai bola, agar rekan setim mampu memiliki banyak opsi untuk melepas operan.

Tiki taka, lahir dari rumus sosiologis bahwa sepak bola layaknya tatanan sosial yang membuang jauh-jauh sifat egosentris, atau mau menang sendiri atau bahkan merasa benar sendiri, tanpa menghiraukan keberadaan orang lain.

Tiki taka lahir dari perpaduan hasil konsensus nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tanah Spanyol. Tiki taka mencampakkan kebenaran mutlak dan memilih kebersamaan dalam anyaman kerjasama tim.

Tiki taka mengadopsi dua kata mujarab, yakni sistem dan lingkungan. Meminjam kata Yunani: Autopoiesis, yang berasal dari kata autos (=sendiri) dan poeien (=membuat), artinya menciptakan diri, menghasilkan diri atau mengorganisasikan diri.

Pertanyaannya, apakah penunjukan pelatih asing memang sudah mempertimbangkan aspek perubahan sistem dan lingkungan?

Benar, bahwa para pemain Indonesia cocok dengan skema penguasaan bola (possession), yang nota bene menjadi roh dan jiwa tiki taka. Benar, bahwa postur pemain Nusantara tidak terlalu tinggi dan memiliki kecepatan jarak pendek yang baik. Ini juga dimiliki oleh rata-rata pemain Spanyol.

Hanya saja sejarah mencatat, Timnas Indonesia kerapkali ditangani pelatih-pelatih asal Belanda, Inggris, Bulgaria, Italia, Serbia, Kroasia, Polandia, Rusia, Jerman, dan yang terakhir adalah Austria.

Asa mencari pelatih Tim Garuda, menurut catatan harian Bola, justru tersukses ditorehkan oleh pelatih Rusia, Anatoli Fyodorovich Polosin dan Tony Pogacnik asal Yugoslavia.

Polosin mempersembahkan emas buat Indonesia di ajang SEA Games 1991, dan Pogacnik memberi perunggu di Asian Games 1958. Keduanya tampil sebagai pelatih berkarakter disiplin, sportif, bekerja keras, dan tegas.

Apa yang diberi oleh Polosin dan Pogacnik memenuhi hukum dasar dari teori sistem. Menurut filosof Niklas Luhmann, setiap perubahan sistem adalah perubahan lingkungan sistem-sistem lainnya. Setiap pertumbuhan kompleksitas di suatu tempat akan memperbesar kompleksitas lingkungan untuk sistem-sistem lainnya.

Perubahan sistem bukan soal mencangkok, atau memindahkan begitu saja sistem nilai. Memaksakan penerapan sistem nilai kepada gaya berperilaku boleh dilabel dan silakan disebut saja sebagai sihir belaka.

Ada satu peristiwa menarik yang dicatat oleh Sport 360, edisi 4 Desember 2013. Waktu itu Milla berjanji membawa filosofi sepak bola Spanyol di Mohammed bin Zayed Stadium.

Waktu itu ia didaulat menggantikan pelatih Jazira, Paulo Bonamigo asal Brasil. Milla mengatakan, "Kami tahu hal ini tidaklah mudah, dan banyak menghadapi rintangan. Kami datang ke sini dengan berbekal banyak ilusi, untuk itu kami berusaha berbuat yang terbaik."

"Kami ingin tim ini meraih banyak kemajuan dan prestasi. Kami melihat sepak bola sebagaimana yang pernah kami alami (di Spanyol). Saya pelatih untuk para pemain muda dengan banyak ilusi."

"Tidak mudah juga mengubah (filosofi bermain) dalam waktu sekejap. Kami berharap, (adaptasi) tidak terlalu lama agar dapat memperoleh hasil nyata, tidak hanya di lapangan tetapi juga bagi para pemain," kata Milla.

Milla merupakan salah satu produk akademi La Masia, selain ada nama besar Pep Guardiola, dan dua pengumpan terbaik di dunia yakni Xavi dan Andres Iniesta.

Guardiola punya memori manis ketika menimba ilmu di La Masia. "Kami merasa terpacu dan bangga mengenakan kostum Barcelona. Anda juga harus melihat Carles Puyol, Xavi, Andres Iniesta dan Lionel Messi. Saya tiba di sana ketika masih berusia 13 tahun dan para pengajar di sana dengan setia dan cermat menyertai kami."

Direktur akademi Barcelona waktu itu, Carles Folguera mengungkapkan, "klub membayar segala sesuatunya, yakni makan, penginapan, para pengajar, materi ajar dan juga uang saku secukupnya."

"Dua hal yang terpenting bagi mereka, kami menanamkan kepada mereka semangat kebersamaan dan kerendahan hati," kata Folguera.

Tiki taka bukan sekedar skema permainan sepak bola, melainkan kebersamaan dan kerendahan hati sebagai inti dari warta humanisme yang dihidupi secara historis oleh negeri Matador.


Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017