Baghdad (ANTARA Newss) - Minyak Irak adalah milik rakyat Irak, kata Perdana Menteri Haider al-Abadi, Selasa, sebagai tanggapan terhadap pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa AS seharusnya menguasai cadangan minyak mentah negara itu.

Dalam pidato di hadapan pejabat CIA, Sabtu, Trump menyatakan Amerika Serikat seharusnya mengambil minyak Irak untuk mengganti serbuan pada 2003, yang mengakhiri kekuasaan Saddam Hussein.

Trump juga menyebutkan bahwa mengambil minyak Irak akan mencegah ISIS berkembang, dengan menghapus sumber pendanaan kelompok itu, kata laporan pertemuan tersebut, yang dikutip Huffington Post.

"Tidak jelas yang dia maksud," kata Abadi di jumpa pers ketika ditanya tentang tanggapan Trump, "Apakah dia maksud pada 2003 atau untuk mencegah teroris dari merebut minyak Irak?"

"Minyak Irak secara konstitusional milik Irak," katanya.

Presiden baru AS itu juga mengirimkan pesan berisi tawaran meningkatkan jumlah bantuan ke Irak, kata Abadi mengatakan, tanpa merinci tentang sifat bantuan tersebut.

"Saya memiliki jaminan dari Presiden Trump bahwa bantuan kepada Irak akan terus berlanjut dan juga akan ditingkatkan," kata Abadi dalam konferensi pers di Baghdad.

Trump telah membuat perang melawan ISIS, kelompok garis keras yang menyatakan diri ingin membentuk "kekhalifahan" di Suriah dan Irak pada tahun 2014, prioritas bagi pemerintahannya.

Persekutuan pimpinan AS memberikan dukungan penting kepada gerakan pasukan Irak untuk mengambil alih Mosul, kota terbesar di bawah kendali ISIS. Amerika Serikat juga menyediakan bantuan keuangan ke Irak.

Menurut sebuah pernyataan yang dipasang di laman Gedung Putih sesaat setelah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, pemerintahan Trump akan menjadikan upaya mengalahkan "kelompok teror Islam radikal" sebagai target utama kebijakan luar negerinya.

Trump, seorang tokoh dari Partai Republik, menggunakan pidato pelantikannya pada pekan lalu berjanji akan "menyatukan dunia melawan terorisme Islam radikal, yang akan kita basmi sepenuhnya dari muka bumi".

Dalam pernyataan itu, yang berjudul "Kebijakan Luar Negeri Amerika yang Pertama", pemerintahan Trump mengatakan, "Mengalahkan IS dan kelompok teror lain akan menjadi prioritas tertinggi kami."

Dalam rangka untuk "mengalahkan dan menghancurkan" ISIS dan kelompok yang sejenis, pemerintahan baru itu mengatakan "akan mencari kerja sama agresif dan koalisi operasi militer bila diperlukan", bekerja memotong dana untuk kelompok teroris, memperluas jaringan berbagi data intelijen dan menggunakan sumber daya siber untuk mengganggu propaganda dan upaya perekrutan.

Pernyataan itu tidak memberikan indikasi tentang bagaimana kebijakan Trump akan berbeda dari pendahulunya, Barack Obama dari Partai Demokrat.

Pemerintahan Obama juga mengejar strategi itu, bekerja sama dengan sekutu Eropa dan Timur Tengah dalam kampanye pengeboman yang menargetkan pemimpin ISIS dan infrastruktur minyak mereka, otorisasi operasi pasukan khusus AS terhadap kelompok itu, dan menggunakan sanksi dan metode lainnya untuk memotong pembiayaan.

Pidato Trump dan pernyataan itu mengulang kampanyenya yang mengritik Obama dan saingannya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, karena tidak menggunakan kalimat "kelompok teror Islam radikal" untuk menggambarkan ISIS dan kelompok garis keras lainnya.

Obama berpendapat bahwa menggunakan istilah itu akan mengacaukan perujukan antara "pembunuh" dengan "miliaran Muslim yang ada di seluruh dunia, termasuk di negeri ini, yang damai."

Hillary mengatakan jika menggunakan frase ini akan membuat mereka melakukan keinginan kelompok militan yang ingin menggambarkan Amerika Serikat seperti sedang berperang dengan Islam.

Pernyataan Gedung Putih itu juga tampak menggarisbawahi hubungan lebih baik dengan Rusia, yang dikatakan Trump akan dicapainya. "Kami selalu senang ketika musuh lama menjadi teman dan ketika teman lama menjadi sekutu," kata pernyataan itu, demikian Reuters.

(G003/B002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017