Kematian tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta setelah mengikuti pendidikan dasar organisasi pencinta alam kampus menjadi keprihatinan publik.

Peristiwa tragis itu mengingatkan publik pada peristiwa kekerasan di kampus, umumnya di lembaga pendidikan kedinasan, yang terjadi pada masa lalu.

Kejadian mengenaskan itu tentu menjadi bahan refleksi bagi penyelenggara pendidikan di lembaga pendidikan tinggi pada umumnya, utamanya di UII Yogyakarta.

Mendaki gunung sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa ((UKM) yang menjadi program utama organisasi pencinta alam kampus adalah aktivitas yang menuntut ketangguhan fisik.

Tanpa adanya kekerasan fisik yang dilakukan mahasiswa senior terhadap juniornya, pendakian yang memakan waktu belasan jam menuju puncak Gunung Lawu yang sangat dingin dan berkatbut itu sudah cukup membuat fisik mahasiswa berisiko kelelahan bahkan jatuh sakit, terutama bagi mahasiswa yang tak punya stamina tubuh yang prima.

Apalagi, jika pendakian di gunung yang bisa didaki dari lereng Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, itu disertai dengan kegiatan penggemblengan oleh mahasiswa senior terhadap yang junior.

Dalam kegiatan yang berlangsung tanpa pengawasan langsung kalangan dosen atau petugas yang mewakili otoritas kampus, peluang terjadinya ekses dalam bentuk kekerasan fisik cenderung terjadi. Kontak fisik yang terjadi adalah pemicu terjadinya kekerasan.

Untuk mencegah terulangnya tragedi serupa, pihak otoritas kampus perlu meneliti ulang satuan kegiatan yang menjadi materi pendidikan dasar organisasi pencinta alam kampus.

Ketentuan larangan keras terjadinya kontak fisik antara mahasiswa senior dan junior harus dinyatakan secara eksplisit dalam program pendidikan dasar organisasi pencinta alam kampus itu.

Kematian karena penganiayaan atau pemukulan oleh mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior merupakan peristiwa tragis akibat kejahatan yang tak terampuni.

Mahasiswa pencinta alam yang melakukan kekerasan terhadap juniornya itu jelas tak menghayati esensi dari kegiatan yang mereka gemari. Para pencinta alam pertama-tama selayaknya adalah para pencinta kemanusiaan.

Mendaki gunung, dalam suasana yang penuh tantangan dan rintangan alam, justru membutuhkan solidaritas di antara sesama pendaki dan bukannya diisi dengan aktivitas yang bermuatan penggemblengan yang tak jarang dilakukan dengan emosi meluap, bahkan sangat mungkin di luar kendali ego diri dari mahasiswa senior.

Guna mencegah terulangkan tragedi yang menimpa tiga mahasiswa UII itu, kampus perlu mengevaluasi tentang lokasi pendidikan dasar pencinta alam kampus. Ada baiknya pendidikan atau latihan dasar itu dilakukan di kampus. Setelah program pendidikan dasar itu dinyatakan selesai dan semua mahasiswa junior dinyatakan lulus, aktivitas berikutnya, yakni pendakian ke gunung sudah bukan bagian dari pendidkan atau lahitan dasar lagi.

Jadi, ketika kegiatan pendakian dilakukan, mahasiswa senior dan mahasiswa junior sudah tidak dalam posisi sebagai pengggembleng dan yang digembleng. Mereka sudah dinyatakan setara, sama-sama sebagai mahasiswa anggota organisasi pencinta alam. Dalam banyak kasus kegiatan pendakian gunung, para pendaki justru dituntut saling kerja sama, tolong-menolong ketika rintangan medan maupun cuaca ekstrem sedang mengancam keselamatan para pendaki.

Karena kegiatan yang dilakukan pencinta alam kampus membutuhkan ketangguhan stamina fisik mahasiswa, prasyarat kemampuan fisik mahasiswa harus dijadikan prioritas aturan sehingga tidak ada mahasiswa yang menjadi korban ketika melakuan pendakian pada saat cuaca ekstrem berlangsung.

Sesungguhnya apa yang terjadi pada mahasiswa UII Yogyakarta itu merupakan kejadian luar biasa yang kemungkinannya sangat kecil terjadi di kampus lain.

Korban kekerasan yang selama ini terjadi dalam kehidupan kampus biasanya berlangsung pada masa orientasi studi dan pengenalan kampus ketika mahasiswa junior baru pertama kali bertatap muka atau berkenalan dengan para seniornya.

Semestinya, ketika mahasiswa junior sudah menentukan pilihan unit kegiatan kampus, para mahasiswa senior sudah tidak melakukan aksi penggemblengan fisik terhadap yang junior. Diasumsikan para senior seharusnya menyambut kehadiran junior itu sebagai mitra sekaligus para penerus kegiatan mahasiswa pencinta alam yang sevisi, sepandangan hidup dalam memilih aktivitas ekstrakampus.

Itu sebabnya, memperlakukan mahasiswa junior yang sudah memilih satu unit kegiatan kampus dengan sang senior dengan aksi-aksi kekerasan adalah kebodohan yang tak bisa diterima oleh akal waras.

Menyelenggarakan pendidikan dasar bagi mahasiswa pencinta alam di lingkungan kampus sesungguhnya sudah dilakukan oleh banyak perguruan tinggi di Tanah Air. Bukankah sebagian besar kampus, bahkan di hampir tiap fakultas telah tersedia fasilitas untuk berlatih panjat tebing?

Mahasiswa junior bisa diuji ketangkasan dan ketangguhannya dalam aktivitas pendakian gunung dengan mempraktikkannya di fasilitas yang tersedia itu. Jadi untuk apa melakukan pendidikan atau pelatihan dasar di luar kampus alias di gunung seperti yang dilakukan mahasiswa UII Yogyakarta itu?

Tragedi yang menimpa para mahasiswa UII itu mau tak mau harus dianggap sebagai peristiwa naas akibat aksi kriminal dari mahasiswa senior yang harus masuk di ranah hukum.

Otoritas kampus di seluruh Tanah Air harus kembali diingatkan untuk memastikan sebuah regulasi yang layak dianggap sebagai hukum besi bahwa hukuman terhadap mahasiswa junior oleh mahasiswa senior hanya ditoleransi dalam bentuk tindakan fisik tanpa kontak fisik antara penghukum dan yang dihukum.

Artinya, mahasiswa senior ditoleransi untuk mnghukum mahasiswa junior dengan menyuruhnya melakukan lari atau "push up". Menampar, menendang, memukul, atau mendorong harus dilarang dan diperlakukan sebagai penganiayaan yang bisa dijadikan delik hukum.

Dengan mengikuti regulasi semacam itu, aktivitas apa pun di kampus tak akan mendatangkan tragedi yang diakibatkan oleh kekerasan fisik dari mahasiswa senior terhadap juniornya.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017