Jakarta (ANTARA News) - Pemilu 2019 masih dua tahun lagi, tetapi sudah terdengar sejumlah nama yang bakal dicalonkan menjadi Presiden untuk periode 2019-2024.

Partai-partai politik tak ketinggalan mulai mengelus sejumlah nama untuk digadang-gadang menjadi orang nomor satu di Republik ini.

Dalam menentukan calon Presiden mendatang, saat ini sedang digodok aturan main dan mekanisme pencalonannya melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu.

RUU Penyelenggaraan Pemilu saat ini masih dibahas di tingkat Panitia Khusus yang diketuai oleh Lukman Edy dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pemilu 2019 merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia karena pada pemilu mendatang, tiap rakyat memilih secara langsung sekaligus pasangan presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dalam satu waktu.

RUU Penyelenggaraan Pemilu itu juga memuat ketentuan sekaligus menjadi ketentuan baru dari tiga UU terkait pemilu, yakni UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR RI, DPD RI, dan DPRD, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Tidak mengherankan materi RUU itu tersaji dalam jumlah halaman yang banyak, yakni sekitar 400 halaman karena memuat ratusan pasal.

Salah satu materi krusial yang dibahas adalah soal "presidential threshold" atau ambang batas minimal bagi partai politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden mendatang.

Sejauh ini dalam pembahasan di tingkat Pansus, terdapat empat pandangan. Pandangan pertama, empat partai politik mengusulkan syarat "presidential threshold" adalah partai politik atau gabungan partai politik yang mendapat minimal 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah pemilu. Empat partai politik yang mengusulkan ini adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai NasDem.

Pandangan dari empat partai politik tersebut sama dengan yang tercantum pada Pasal 190 RUU Penyelenggaraan Pemilu. Dalam pasal itu disebutkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Ambang batas minimal dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah itu dipakai untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang memunculkan dua pasangan calon. Ketika itu pasangan calon Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla didukung oleh PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PKB, sedangkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa diusung oleh Gerindra, PAN, Partai Golkar, PKS, dan PPP.

Hanya Partai Demokrat yang tidak mencalonkan karena calon Presiden yang telah dipersiapkan tidak bisa diusung pada Pemilu 2014 karena tidak memenuhi persyaratan ambang batas dan tidak berkoalisi dengan partai lain.

Pandangan kedua, empat partai politik, yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Hanura mengusulkan penghapusan ketentuan "presidential threshold" sehingga setiap partai politik peserta pemilu mendatang masing-masing berhak mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

Pandangan ketiga, PKB mengusulkan ketentuan "presidential threshold" adalah partai politik atau gabungan partai politik yang mendapat minimal tujuh persen kursi di DPR RI atau 3,5 persen suara pemilu. Sementara pandangan keempat disampaikan oleh PPP yang mengusulkan ketentuan "presidential threshold" sebesar 25 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara pemilu.

Usulan besaran ketentuan "presidential threshold" itu memberikan konsekuensi terhadap jumlah calon Presiden yang diusulkan partai politik.

Jika dalam RUU Pemilu menyetujui penghapusan syarat "presidential threhold" maka seluruh partai politik peserta pemilu masing-masing dapat mengusulkan calon Presiden. Jika pemilu 2019 diikuti 14 partai politik (10 partai peserta pemilu sebelumnya dan asumsi empat partai politik baru untuk pemilu mendatang) maka ke-14 partai politik tersebut dapat mengusulkan calon Presiden sehingga pasangan jumlah calon Presiden dan Wakil Presiden akan banyak, yakni 14 pasangan calon.

Bila persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara yang menjadi ambang batas minimal untuk bisa mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka konsekuensinya paling tidak minimal ada dua pasangan calon presiden yang diusulkan sebagaimana yang pernah terjadi pada Pemilu 2014.

Pasal 189 dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu menyebutkan jumlah keseluruhan pasangan calon yang diusulkan minimal berjumlah dua pasangan calon.

Lantaran Pemilu 2019 akan dilakukan secara sekaligus untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD maka partai-partai politik sudah harus menetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang lulus verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pasangan calon Presiden dan Wapres peserta pemilu.

Logikanya memang akan mengerucut pada dua alternatif pilihan, yakni menetapkan "presidential threshold" yang sama dengan Pemilu sebelumnya (2014) yang bisa menjadi acuan bagi partai politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden atau menghapus ketentuan "presidential threshold" karena Pemilu 2019 merupakan hal yang baru, yakni secara serentak memilih sekaligus Presiden dan Wapres serta DPR, DPD, dan DPRD dalam satu waktu.

Namun bila setiap partai politik peserta pemilu dengan jumlah yang diperkirakan terdapat 14 partai politik maka tidak mungkin calon Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 14 pasangan calon.

Belum pernah ada di negara-negara demokrasi dengan sistem multipartai sekalipun, pemilihan presiden dan wakil presiden diikuti oleh belasan calon.

Bila tanpa "presidential threshold" tentu saja akan membawa kesulitan dalam menentukan pemenang pemilihan karena tidak ada yang mayoritas merata di setiap daerah dalam perolehan suaranya. Alhasil menjadi sesuatu yang cenderung mustahil bila tanpa "presidential threshold".

Tinggal kesepakatan saja apakah dalam memakai rujukan pemilu sebelumnya itu berarti Pemilu 2014 dan Pemilu 2009 (20 persen kursi dan 25 persen suara) atau Pemilu 2004 yang merupakan pemilu pertama secara langsung (berdasarkan Penjelasan UU Nomor 23 Tahun 2004, "presidential threshold" sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR).

Atau membuat ambang batas yang baru, tidak sebesar angka-angka itu. Terpenting tampaknya tetap perlu ada "presidential threshold".

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017