Jakarta (ANTARA News) - Penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh petugas KPK bukanlah kali pertama, begitu pula suap terkait perkara daging sapi impor pernah diusut oleh lembaga anti-rasuah itu.

Masyarakat tentu belum lupa ketika penyidik KPK menangkap mantan Ketua MK Akil Mochtar pada 2 Oktober 2013. Akil bahkan harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara karena dinilai terbukti menerima suap dalam pengurusan 10 sengketa pilkada di MK serta terbukti melakukan pencucian uang.

Sementara pada tahun yang sama, tepatnya 31 Januari 2013, KPK juga menetapkan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka karena menerima suap Rp1 miliar terkait pengurusan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian. Lutfhi harus menjalani penjara selama 18 tahun karena perbuatannya itu.

Berselang empat tahun kemudian, KPK kembali menangani kasus yang menyatukan dua unsur tersebut: hakim konstitusi dan suap terkait daging sapi.

Adalah mantan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Patrialis Akbar yang saat ini menjadi Hakim Konstitusi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap kepada hakim MK terkait dengan uji materi (judicial review) UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

Patrialis diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman.

Basuki Hariman pada 2013 juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq. Saat itu Basuki mengeluhkan pembagian impor daging sapi yang tidak adil karena kuota impor itu hanya diberikan kepada beberapa perusahaan saja, termasuk PT Indoguna, penyuap Luthfi Hasan.



Kronologi kasus

"Tim KPK mengamankan 11 orang dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu, 25 Januari 2017 sekitar pukul 10.00 sampai 21.30 WIB di 3 lokasi berbeda di Jakarta," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (26/1) malam.

Tim KPK pertama mengamankan orang dekat Patrialis Akbar yaitu Kamaludin di lapangan golf Rawamangun. Selanjutnya tim bergerak di kantor Basuki Hariman di Sunter dan mengamankan Basuki beserta 6 orang karyawannya.

"Mereka (tim KPK) ke kantor, geledah kantor saya, terus saya datang ke kantor. Saya tanya kenapa begitu. Rupanya Pak Kamal sudah dibawa duluan ke sini kemudian terus saya juga dibawa ke sini," kata Basuki menceritakan proses penangkapannya.

Menurut Basaria, Basuki memiliki sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging.

Selanjutnya tim mengamankan Patrialis di pusat perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta Pusat pada sekitar pukul 21.30 WIB.

"PAK (Patrialis Akbar, red) saat itu bersama dengan seorang wanita," tambah Basaria.

Setelah pemeriksaan 1 x 24 jam, KPK pun menetapkan empat orang tersangka.

Tersangka penerima suap adalah Patrialis Akbar dan orang dekatnya, Kamaludin. Keduanya disangkakan melanggar pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangka melanggar pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750.

"BHR (Basuki Hariman) dan NJF (Ng Fenny) melakukan pendekatan kepada PAK (Patrialis Akbar) melalui KM (Kamaludin). Hal ini dilakukan BHR dan NJF agar bisnis impor daging dapat lebih lancar. Setelah pembicaraan, PAK menyanggupi membantu agar permohonan uji materiil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 itu dapat dikabulkan MK," jelas Basaria.

Patrialis diduga menerima hadiah 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) yang tidak diberikan dalam bentuk tunai.

Pemberian itu diwujudkan dalam vocher pembelian mata uang asing yang sudah diberikan secara bertahap sejak 6 bulan lalu. Pemberian kali ini adalah pemberian yang ketiga.

Tim KPK juga mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan "draft" perkara No 129/PUU-XIII/2015.

"Sedang diteliti penyidik apakah draft itu sudah final atau baru akan dbacakan. Hal itu diteliti, jadi mungkin kami akan meminta keterangan orang-orang yang mengetahui proses itu," tambah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, termasuk apakah ada hakim konstitusi lain yang terlibat dalam perkara tersebut.

KPK bahkan membuka kemungkinan untuk menjerat perusahaan Basuki dengan pidana korporasi apalagi pasca-terbitnya Peraturan Mahkamah Agung No 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

"Perusahaan BHR memang banyak, ada kemungkinan untuk menuntut perusahaannya dan terbuka kemungkinan untuk kita melakukan permintaan tanggung jawab pidana korporasi, contohnya pemberinya sudah dijerat tapi korporasinya masih ada dan dia mengulangi lagi perbuatan yang kita kategorikan corrupt, ini yang jadi perhatian KPK agar tidak terjadi lagi ke depan," kata Laode.

Sedangkan Patrialis seusai diperiksa penyidik KPK pada Jumat dini hari membantah ia pernah menerima uang serupiah pun dari Basuki.

"Demi Allah, saya betul-betul dizalimi, ya nanti kalian bisa tanya sama Basuki, bicara uang saja, saya tidak pernah," kata Patrialis yang sudah mengenakan rompi tahanan KPK warna oranye untuk dibawa ke rutan KPK.

Mantan Menteri Hukum dan HAM era presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu meyakini apa yang ia alami hanyalah ujian.

"Sekarang saya dijadikan tersangka, bagi saya ini adalah ujian, ujian yang sangat berat. Saya minta kepada MK tak usah khawatir, paling tidak nama baik MK agak tercoreng gara-gara saya dijadikan tersangka," ungkap Patrialis.

Meski demikian, Patrialis mengakui kenal Basuki, meski bukan orang yang berperkara di MK.

"Saya katakan sekali lagi, saya tidak pernah terima uang satu rupiah pun dari orang yang namanya Basuki, apalagi Basuki bukan orang yang berpekara di MK, tidak ada kaitannya dengan perkara itu. Dia bukan pihak yang berpekara," ungkap Patrialis.

Sedangkan Basuki mengakui mengenal Patrialis dari rekan bisnisnya, Kamaludin yang merupakan orang dekat Patrialis. Basuki bahkan pernah bermain golf di lapangan golf Rawamangun beberapa kali dengan Patrialis ditambah dua kali makan bersama.

"Selama saya bicara dengan Pak Patrialis, tidak pernah dia bicara sepatah kata pun soal uang. Yang minta uang itu sebenernya Pak Kamal. Saya merasa karena dia kenal dengan Pak Patrialis saya sanggupi untuk membayar kepada dia. Kamal juga punya kerja sama sama saya. Belakangan saya mengalami, ternyata daging (impor) itu mulai tidak laku, saya support oranglah gugat. Itu saja," tambah Basuki.

Menurut Basuki ia hanya membantu untuk memberikan masukan kepada hakim konstitusi terkait kondisi daging di pasar saat ini.

"Memberikan penjelasan-penjelasan kepada hakim, dalam hal ini Pak Patrialis," ungkap Basuki.

Sedangkan pemberian uang, menurut Basuki adalah permintaan dari Kamaludin.

"Dia (Kamaludin) minta sama saya, 20 ribu dolar AS itu buat dia umroh. Ya (dijanjikan) ini perkaranya bisa menang. Padahal saya tahu Pak Patrialis berjuang ya apa adanya. Saya percaya Pak Patrialis ini tidak seperti orang yang kita dugalah hari ini. Terima uang dari saya tidak ada," kata Basuki.

Perkara No 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.

Sidang pertama dilakukan pada 5 November 2015 dan sudah akan membacakan putusan.



Sikap MK

"Kami atas nama Mahakamh Konstitusi menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia. Kami seluruh hakim MK merasa sangat prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam konferensi pers di gedung MK, Kamis (26/1).

Delapan orang hakim Konstitusi berkumpul dan menyampaikan keterangan bahkan sebelum KPK menetapkan rekan mereka, Patrialis Akbar sebagai tersangka.

MK pun berjanji akan mendukung KPK dalam menuntaskan kasus tersebut.

"MK membuka akses seluas-luasnya kepada KPK dan jika diperlukan MK mempersilakan KPK untuk meminta keterangan hakim konstitusi tanpa perlu mendapat izin dari Presiden sebagaimana diatur dalam UU MK termasuk seluruh jajaran MK," tambah Arief.

Selanjutnya Dewan Etik yang dibentuk sejak 2013, pasca-kasus Akil Mochtar segera menggelar rapat untuk mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan MK disertai dengan usul pembebastugasan Patrialis.

"MK mengajukan permintaan pemberhentian sementara hakim konstitusi yang bersangkutan kepada Presiden. Dalam hal Majelis Kehormatan mengambil keputusan yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran berat, MK segera mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan hormat hakim konstitusi yang bersangkutan," ungkap Arief.

Arief pun mengakui dalam uji materi perkara UU Peternakan itu akan segera dibacakan.

"Permohonan sudah selesai finalisasi dan akan segera dibacakan putusannya. Ketua panel adalah Pak Mahan Sitompul, dengan anggota Pak Palguna dan Pak Patrialis. Kalau panel hanya memeriksa pendahuluan saja, tapi seluruh persidangan, rangkaian persidangan itu pleno seperti mendengarkan keterangan ahli dan setelah itu rapat permusyawaratan hakim oleh sembilan hakim. Beliau (Patrialis) hanya anggota panel," jelas Arief.

Arief bahkan meminta doa restu dari masyarakat Indonesia agar dapat memperbaiki sistem dan kinerja MK.

"Saya mohon ini yang terakhir, karena kami juga sangat shock dan berat sekali menerima musibah ini. Kami mohon doa restu kepada seluruh rakyat Indonesia dan media massa supaya badai cepat berlalu karena hujan segera berhenti dan kita mohon restunya supaya Mahkamah ini tetap menjadi Mahkamah yang didambakan rakyat Indonesia," tambah Arief.

Tentu sekadar restu dan permintaan maaf tidak akan bisa mengubah perilaku korup hakim tertinggi penafsir konstitusi negara. Integritas dibangun sejak dini dan dari hal-hal kecil termasuk dengan menaati Peraturan MK No 2 tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi yang mengatur pada pasal 3 ayat vi: larangan sebagai hakim untuk menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara baik langsung maupun tidak langsung.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017