Jakarta (ANTARA News) - "Tanpa kesertaan Amerika Serikat dalam Kemitraan Trans Pasifik, Indonesia seharusnya tak lagi bahas rencana untuk bergabung dalam perjanjian tersebut," kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Rosan Roeslani.

Roeslani,  di Jakarta, Jumat, mengatakan, rencana awal Indonesia untuk bergabung dalam Kemitraan Trans Pasifik (TPP) adalah untuk memasuki pasar bebas, yang pada akhirnya akan mempermudah kegiatan perdagangan.

"Kalau menurut saya, kita tidak usah bahas itu lagi. Amerika saja keluar, untuk apa lagi kita ikut TPP?," ujarnya. 

Dia katakan itu usai mengisi acara dialog terbuka bertema Kebijakan Ekonomi, Bisnis, dan Politik AS dibawah Presiden Trump: Pengaruhnya terhadap Indonesia, di Auditorium Centre for Strategic and International Studies, di Jakarta.

Ia melanjutkan, pada saat ini, Indonesia sebaiknya mengkonsetrasikan fokus kerjasama dagang dengan negara lain, daripada mempertimbangkan bergabung dalam TPP.

"Kita mempunyai kesepakatan dagang dengan negara lain juga. Contoh dengan Australia yang sedang dalam pembicaraan dan diharapkan selesai dalam waktu dekat, lalu ada juga Kesepakatan Kemitraan Menyeluruh Ekonomi Indonesia-Uni Eropa, itu sudah disetujui," kata Roeslani.

Kemitraan Trans-Pasifik adalah skema kerjasama perdagangan yang telah ditandatangani 12 negara, termasuk Australia, Brunei, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Vietnam dan Amerika Serikat.

Namun, pada hari pertamanya sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menandatangai pernyataan penarikan diri negaranya dari Kemitraan Trans-Pasifik.

Menurut pernyataan Gedung Putih yang disampaikan beberapa saat setelah Trump dilantik, strategi penarikan diri ini dilakukan demi melindungi angkatan kerja Amerika Serikat dan pemerintahan Amerika Serikat akan membidik negara mana pun yang melanggar kesepakatan perdagangan dan merugikan pekerja Amerika Serikat.

Banyak pihak yang mengkhawatirkan kemungkinan langkah-langkah kebijakan yang dapat diambil Trump, namun Rosan menegaskan bahwa hal ini tidak harus selalu dihubungkan dengan dampak negatif.

"Kebijakan-kebijakan itu tentunya mempunyai dua sisi, dan kita sebaiknya lebih melihat bagaimana kita bisa mengambil kesempatan dari kebijakan tersebut. Tidak selalu berbicara tentang ancamannya saja," katanya.

Ia mengatakan, apapun kebijakan yang diambil Trump nanti, Indonesia harus dapat menggunakan hal itu sebagai suatu kesempatan untuk menjadi lebih kompetitif lagi. 

Salah satu kebijakan yang dapat diambil Indonesia, lanjutnya, dengan mempertimbangkan posisi negara dengan Vietnam, dimana kedua negara memiliki daya ekspor tekstil yang sangat tinggi ke Amerika Serikat.

Selama ini, pertumbuhan industri garmen Vietnam bertumbuh pesat karena negara tersebut menikmati ekspor tekstil dengan 0 persen biaya ke Amerika Serikat, sementara Indonesia harus membayar tariff. 

Namun, sekarang posisi Indonesia dan Vietnam sejajar karena keduanya harus membayar biaya ekspor untuk memasukkan produk tekstil ke Amerika Serikat.

"Itu yang membuat kita bisa lebih kompetitif lagi," katanya. 

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017