Kairo (ANTARA News) - Fuad Syarif dan keluarganya menunggu dua tahun untuk mendapatkan visa agar bisa menetap di Amerika Serikat, Sabtu, saat mendapatkan penghargaan untuk bekerja dengan organisasi di AS.

Mereka menjual rumah dan meninggalkan pekerjaan serta sekolah di Irak sebelum merencanakan kehidupan baru tersebut.

Namun, Syarif, istrinya, dan ketiga anaknya dilarang menumpang penerbangan langsung dari bandar udara Kairo, Mesir, menuju New York, AS, pada Sabtu.

Mereka tiba-tiba menjadi korban larangan bepergian sesuai dengan kebijakan presiden baru AS Donald Trump terhadap tujuh negara berpenduduk sebagian besar Muslim.

Paspor mereka disita, sekeluarga putus asa itu semalam ditahan di bandar udara Kairo dan dipaksa menumpang pesawat kembali ke kota Erbil, Irak utara, Minggu pagi.

"Kami diperlakukan seperti pengedar narkoba, dikawal sejumlah petugas pemulangan," kata Syarif kepada Reuters saat ditelepon dari bandar udara Kairo.

"Saya merasa sangat bersalah kepada istri dan anak-anak saya. Saya merasa saya lah yang menjadi alasan di balik kekecewaan mereka," katanya.

Dalam melakukan tindakan pembersihan sejak menjabat sebagai Presiden AS sepekan yang lalu, Trump menandatangani surat keputusan pada Jumat, yang menangguhkan masuknya orang-orang dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman selama kurang lebih 90 hari.

Dia menyatakan bahwa kebijakannya itu akan membantu mengamankan AS dari para teroris.

Larangan melakukan perjalanan itu seketika memberikan dampak, mendatangkan malapetaka, dan memusingkan bagi orang-orang yang bepergian dengan memegang paspor tujuh negara tersebut.

Syarif dan keluarganya di antara para korban pertama kebijakan itu.

Syarif mengaku dipekerjakan oleh perusahaan farmasi sebelum meninggalkan Irak, namun dia mengerjakan beberapa proyek yang didanai sejumlah organsasi AS, seperti USAID dalam beberapa tahun setelah AS melakukan invasi dan menduduki Irak.

Keluarganya mengajukan permohonan visa AS pada September 2014 setelah situasi keamaan di Irak terus memburuk seiring dengan pemberontak ISIS merebut beberapa petak di negaranya dan melakukan serangan membabi-buta.

Pekerjaan Sharef dengan lembaga di AS membuatnya sangat rentan terhadap serangan oleh kelompok militan yang memandangnya sebagai pengkhianat.

"Saya mengajukan permohonan kepada imigrasi atas beberapa alasan. Pertama, saya bekerja dengan lembaga di AS sehingga menempatkan saya dalam kerentanan ancaman dari organisasi terorisme. Kedua, saya tertarik dengan (SIV) program dan anak saya tertarik melanjutkan pendidikannya di AS," ujarnya.

Terancam

Syarif mengajukan permohonan pindah melalui program yang dikenal dengan Visa Khusus Imigran, yang dibuat legislatif AS untuk membantu puluhan ribu warga Irak, yang jiwanya terancam atas ancaman karena membantu AS setelah serbuan 2003.

Sedikit-dikitnya 7.000 warga Irak, sebagian dari mereka adalah pengalih bahasa untuk pasukan militer AS menetap di AS berdasarkan bantuan SIV sejak 2008, sedangkan 500 orang lebih masih dalam proses, kata data, yang ditunjukkan Kementerian Luar Negeri AS.

Sebanyak 58 ribu warga Irak lainnya menunggu wawancara sesuai dengan Program Akses Langsung warga Irak yang berafiliasi dengan AS, demikian menurut Proyek Asistensi Pengungsi Internasional.

Sahabat Syarif, Mona Fetouh, menuturkan bahwa dia bekerja dengan Syarif di pemerintahan lokal yang didanai USAID dan proyek masyarakat madani pada 2004.

Fetouh, warga AS, mengaku memberikan rekomendasi kepada Syarif dalam pengajukan permohonan SIV.

Seharusnya, dia terbang pada 1 Februari 2017, keluarga tersebut memutuskan berangkat lebih awal setelah muncul berita yang membocorkan rencana Trump atas persoalan baru pembatasan imigrasi. Namun mereka tampaknya sangat terlambat.

"Proses SIV membutuhkan waktu dua tahun dan mereka akhirnya mendapatkan visa itu dan karena mereka terbang pada pekan ini - waktunya tidak tepat," tutur Fetouh.

"Mereka telah menjual rumah dan aset-asetnya serta meninggalkan pekerjaan dan sekolah anak-anaknya dalam menyiapkan kepindahan ini dan kenyataannya dirusak oleh kebijakan itu," katanya.

Syarif yang merupakan bapak dari dua anak gadis dan satu bocah laki-laki itu menuturkan bahwa keluarganya sangat terkejut dan tidak tahu apa yang akan dilakukan nanti.

Mereka tinggal sementara bersama saudara pria Syarif di Kota Erbil.

"Saya tidak tahu. Mungkin saya akan mengirimkan email ke Kedutaan AS di Baghdad untuk meminta penjelasan," katanya.

Saat ditanya mengenai kekhwatiran atas jiwanya ketika kembali ke Irak, dia menunjuk kota di Irak utara yang ditinggalinya yang sempat dikuasai ISIS berangsur-angsur pulih melalui serangan militer Irak.

"Mungkin sudah tidak begitu berbahaya seiring dengan penurunan pengaruh IS di Mosul, namun dalam beberapa tahun bekerja, kehidupan saya dan kehidupan keluarga saya tentu saja dalam bahaya dan sekarang saya dalam bahaya menghadapi ancaman setiap saat. Tidak ada yang menjamin," katanya.

(Uu.M038/B002)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017