Yangon (ANTARA News) - Puluhan ribu orang berkumpul di Kota Yangon, Myanmar, Senin, untuk menghadiri pemakaman Ko Ni, pengacara Muslim, yang tewas tertembak pada hari sebelumnya saat terlibat dalam upaya mengamendemen undang-undang usulan militer.

Pria berusia 63 tahun itu adalah pakar hukum perundang-undangan dan penasihat Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai pemerintahan Aung San Suu Kyi, yang berkuasa pada April tahun lalu. Dia juga anggota terkemuka kelompok minoritas Muslim Myanmar.

Kematiannya di tengah peningkatan ketegangan kaum dan keagamaan di negara berpenduduk sebagian besar beragama Buddha itu menjadi peristiwa langka kekerasan politik di bekas Ibu Kota Myanmar tersebut, yang bertepatan dengan peningkatan operasi keamanan di wilayah barat laut, yang dihuni sebagian besar Muslim.

Polisi menahan seorang pria berusia 53 tahun, yang diduga melakukan penembakan terhadap Ko Ni di bagian kepalanya saat pengacara itu menggendong cucu lelakinya di luar Bandar Udara Internasional Yangon pada Minggu malam.

Dia baru saja pulang dari Indonesia, yang menjadi tempat pejabat pemerintahan Myanmar bersama pemimpin masyarakat Muslim membicarakan masalah rujuk dengan mitranya di Indonesia.

Sopir taksi, Nay Win (42), juga tewas saat berupaya melawan pria bersenjata tersebut, kata media milik pemerintah Myanmar.

Kolonel Polisi Myo Thu Soe kepada Reuters mengungkapkan bahwa tersangka, Kyi Linn, yang berasal dari Kota Yinmabin, Myanmar tengah, itu dua kali dipenjara karena memperdagangkan barang-barang antik keagamaan.

Kyi Linn terakhir kali dibebaskan melalui grasi dari Presiden Thein Sein pada 2014. Menurut Myo, tersangka tidak bisa menjawab dengan baik saat diinterogasi.

"Kami tidak bisa mengatakan dengan pasti, mengapa dia menembak atau siapa yang berada di belakangnya," katanya.

Reuters tidak berhasil menghubungi keluarga Kyi Linn untuk dimintai komentar dan tidak jelas siapa yang mendampinginya dalam menghadapi tuntutan hukum.

Diperkirakan, 100 ribu pelayat, termasuk anggota keluarga, para pengacara, aktivis NLD, dan anggota korps diplomatik Yangon, menghadiri upacara pemakaman Ko Ni yang digelar di pemakaman muslim di wilayah utara Yangon.

Suu Kyi tidak hadir dan belum berkomentar atas kematian Ko Ni. Pihak partainya pada Minggu, menyatakan bahwa kematian Ko Ni merupakan kerugian besar dan tidak tergantikan.

Khin Maung Htay, rekan Ko Ni di Firma Hukum Laurel yang berpusat di Yangon mengatakan bahwa Ko Ni berperan dalam merumuskan peran "konselor negara" bagi Suu Kyi sehingga memungkinnya memimpin pemerintahan.

Konstitusi 2008, yang disusun pemerintahan militer, menghalangi peraih Nobel Suu Kyi untuk menjabat presiden karena dia memiliki anggota keluarga yang berkewarganegaraan asing.

Ko Ni bekerja pada amandemen undang-undang yang menentang peran militer yang masih mempertahankan seperempat kursi parlemen dan mengontrol kementerian keamanan sesuai undang-undang tersebut.

Aung Shin, anggota komite pusat NLD menyatakan bahwa pembunuhan tersebut direncanakan dengan baik, konspirasi tak mengenal takut untuk membunuh seorang pria yang memiliki keahlian hukum cukup luas dan mampu mengomunikasikan kelemahan Undang-undang 2008 kepada publik.

Ko Ni juga memelopori rancangan undang-undang baru tentang Kerukunan Antarkeyakinan yang bisa memasukkan ketentuan mengenai ungkapan kebencian, kejahatan kebencian, dan diskriminasi, kata dua pakar, yang bekerja bersama Ko Ni dalam mengusulkan aturan itu.

Beberapa anggota keluarga dan teman kepada Reuters mengungkapkan bahwa Ko Ni menerima ancaman pembunuhan terkait dengan pekerjaan politiknya, namun motif pembunuhan belum diketahui.

Waktu pembunuhan itu menjadi perhatian khusus, demikian pernyataan dapur pemikiran Kelompok Krisis Internasional (ICG), karena hanya beberapa bulan setelah serangan maut terhadap polisi di dekat perbatasan Bangladesh yang diduga dilakukan oleh pemberontak dari kelompok minoritas muslim Rohingya.

Hal ini penting bahwa tidak ada batu terlewat dalam menemukan kebenaran tentang insiden ini dan yang mungkin berada di balik itu, demikian pernyataan kelompok yang berpusat di Brussel, Belgia.

Lembaga PBB yang mengoordinasikan bidang kemanusiaan, Senin, memperkirakan 69 ribu warga Myanmar melarikan diri ke Bangladesh sejak operasi pembersihan yang dilakukan oleh pasukan keamanan dalam menanggapi serangan pada 9 Oktober 2016 yang menewaskan sembilan polisi itu.

Lebih dari 23 ribu orang telantar, demikian kata lembaga tersebut.

"Terkait kuatnya sentimen antimuslim, maraknya pernyataan kebencian di media sosial, dan nasionalisme jahat Buddha yang

dikemukakan oleh beberapa bikhu senior, kejahatan ini bisa menyemangati orang lain untuk melakukan kekerasan lebih lanjut," demikian ICG yang dilansir Reuters.

(Uu.M038)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017