Kalau pembahasan revisi UU Antiterorisme terlalu lama, dikhawatirkan akan banyak lagi kasus terorisme yang tidak bisa ditangani dengan baik karena tidak ada instrumen hukum untuk mengatasinya."
Jakarta (ANTARA News) - Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau UU Antiterorisme harus bisa memperkuat eksistensi dan peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kata praktisi hukum Suhardi Somomoeljono.

"BNPT harus diberikan hak-hak khusus seperti menangkap, menahan, undercover dalam perspektif intelijen, serta hak-hak khusus lainnya seperti tindakan nonlitigasi dalam kerangka pengentasan kemiskinan bagi para narapidana terorisme," kata Suhardi di Jakarta, Jumat.

Revisi UU Antiterorisme, kata dia, juga harus memperkuat kelembagaan BNPT di daerah-daerah terutama yang rawan konflik.

Yang tidak kalah penting, menurut Suhardi, UU Antiterorisme juga perlu memperkuat aspek pencegahan atau bina masyarakat dalam berbagai modus operandi terutama dalam sinergi dengan dunia pendidikan baik pada sekolah umum maupun sekolah agama.

Aspek pengawasan terhadap orang Indonesia yang pergi ke luar negeri harus mendapat porsi yang proporsional sehingga dapat mendeteksi secara dini kemungkinan adanya orang-orang yang terindikasi sebagai penganut aliran keras yang berpotensi menjadi teroris.

"Jika UU Antiterorisme tidak mengadopsi hal-hal tersebut maka kehadiran UU tersebut ibarat pepesan kosong," tandas Suhardi.

Menurut dia, ancaman terorisme terutama dari kelompok militan ISIS dan Foreign Terrorist Fighter (FTF) semakin nyata di depan mata, sementara perangkat hukum untuk menghadapi kejahatan terorisme masih sangat lemah.

"Kalau pembahasan revisi UU Antiterorisme terlalu lama, dikhawatirkan akan banyak lagi kasus terorisme yang tidak bisa ditangani dengan baik karena tidak ada instrumen hukum untuk mengatasinya," kata dia.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017