Hujan pada Minggu (12/2) sore itu belum sepenuhnya reda, saat atraksi barongsai memaksa warga pecinan Tambak Bayan, Kota Surabaya, berhamburan keluar rumah untuk menyaksikan. Atraksi itu mengawali serangkaian perayaan Cap Go Meh di kampung pecinan Tambak Bayan.

Bagi Dani Sumanjaya, perayaan Cap Go Meh di kampung pecinan Tambak Bayan, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, ini sekaligus merayakan keanekaragaman yang mewarnai kehidupan di kampung tempat tinggalnya itu selama lebih dari seratus tahun.

"Orang tua saya kurang lebih sudah sekitar 110 tahun tinggal di kampung ini. Selama itu pula warga keturunan China di sini sudah berbaur dengan warga dari berbagai suku lainnya yang tinggal di sini," ucap Dani, yang menjadi koordinator warga Tambak Bayan dalam peryaan Cap Go Meh bersama tahun ini.

Menurut dia, biasanya, pada tahun-tahun sebelumnya, acara Cap Go Meh dirayakan sendiri-sendiri di rumah-rumah dan tempat persembahyangan milik masing-masing warga. Dani merasa saat ini momennya sangat tepat untuk merayakan kebhinekaan bersama-sama bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Kampung Pecinan Tambak Bayan.

"Nuansanya di sini memang Bhineka. Sudah lama kita berbaur dengan berbagai suku yang ada di sini. Kalau bisa kedepannya kita pakai terus untuk acara-acara bernuansa Bhineka," imbuhnya.

Dani menggambarkan, suasana kebhinekaan di Kampung Tambak Bayan tak hanya sekadar hidup rukun bertetangga dengan berbagai suku yang juga sama-sama tinggal di sana, melainkan tak sedikit warga dari berbagai suku itu kemudian saling mengikat dengan tali pernikahan.

Dia mencontohkan, orangtuanya sendiri adalah hasil pernikahan dari etnis campuran. "Mama saya adalah orang Kraton Solo, sedangkan papa saya orang Cina Kanton," ungkapnya.

Selain itu, warga keturunan China Tambak Bayan juga tak sedikit yang menikah dengan orang Madura, selain juga menikah dengan orang Jawa dan Sunda. "Sudah lumrah di kampung sini pernikahan antas suku seperti ini. Warga keturunan China di sini tidak kolot, dalam artian tidak menutup diri. Kita saling terbuka," imbuhnya.

Hampir Tergusur
Ketua RT 2, RW 2, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, Suseno Karja, menambahkan, acara Cap Go Meh yang dirayakan bersama seluruh warga pecinan Tambak Bayan tahun ini tak lain berkat bantuan rekan-rekan aktivis di Surabaya.

"Para aktivis ini sudah membantu kita sejak mereka masih mahasiswa. Ya, mereka membantu untuk mempertahankan keberadaan kampung Tambak Bayan yang pluralis ini ketika kita sedang berkonflik dengan Hotel V3 (Vini Vidi Vice) terkait perebutan lahan ini," katanya.

Seno adalah generasi ketiga warga keturunan China yang menghuni Kampung Tambak Bayan. Lelaki berdarah campuran China dan Sunda ini mengisahkan, didirikanya Hotel V3 di tahun 2007 di kawasan itu membuat hampir separuh warga penghuni Kampung Tambak Bayan tergusur.

Dari semula dihuni 80 KK, menurut Seno, saat ini tersisa 50 KK. "Warga yang memilih pindah karena tidak berani berurusan dengan pengadilan. Ya, dulu ada yang nakut-nakuti gitu, hingga akhirnya beberapa warga memilih pindah," terangnya.

Kendati keputusan MA beberapa tahun lalu justru berpihak ke Hotel V3, sekitar 50 KK warga pecinan ini sampai sekarang memilih tetap bertahan di Kampung Tambak Bayan. "Kita minta relokasi ke pihak Hotel V3, selama relokasi tidak dipenuhi, ya, kita tetap bertahan di sini," ucapnya.

Dani menambahkan, dalam kasus sengketa lahan ini, warga meminta relokasi, yaitu kampung diganti kampung, agar kebudayaan kampung pecinan Tambak Bayan yang pluralis dan telah terbangun selama seabad lebih tidak hilang begitu saja.

"Permintaan relokasi sudah lama. Tapi belum terealisasi, meski putusan MA sudah jelas memihak ke Hotel V3, selama relokasi belum tersedia bagi kami kasus ini masih mengambang," ujarnya.

Tukang Kayu
Gunawan atau Gosiok Young adalah salah seorang yang dituakan di Kampung Tambak Bayan. Lelaki berusia 71 tahun ini menunjukkan sekeliling ruang rumahnya yang berupa petak sempit berukuran sekitar 4 x 3 meter.

"Warga lain di kampung ini rumahnya juga seluas ini, atau lebih besar sedikit," katanya. Dari ruang-ruang sempit inilah warga setempat berkembang biak, beranak pinak, sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.

"Mendiang ibu saya, Samina, berasal dari Baureno, Bojonegoro," tuturnya. Istri Gunawan sendiri, Dwi Nesti, diakuinya juga orang Jawa dari Lumajang.

Gunawan menuturkan, orang-orang, nenek moyangnya, saat meninggalkan daratan China menuju ke Surabaya, sebenarnya rata-rata sudah menikah. "Tapi mereka tidak membawa istrinya pindah kemari, ditinggal di China, dan memilih menikah lagi dengan orang sini," ujarnya.

Lalu mata Gunawan menerawang. Pandangannya tertuju pada sebuah altar di salah satu dinding rumahnya. Terpampang foto mendiang kedua orang tuanya di sana. "Ayah saya, Go Ho Sing, lahir tahun 1902. Berasal dari dataran Hainan di sebelah selatan laut China," katanya, menunjuk foto mendiang sang ayah di altar.

Beliau datang ke Surabaya bersama sejumlah imigran lainnya menumpang sebuah kapal dan langsung menempati Kampung Tambak Bayan. "Saat datang kemari, usianya 18 tahun," terangnya. Itulah yang mendasari Gunawan komunitas warga Tambak Bayang sudah menetap turun temurun di kampung ini selama lebih dari seabad.

Menurut Gunawan, situasi politik yang tidak menentu di Hainan membuat ayahnya bersama gelombang imigran dari China lainnya berkeputusan harus meninggalkan kampung halaman hingga akhirnya terdampar di Surabaya. Gelombang imigran China yang datang ke Surabaya bersama ayahnya itu berjumlah 20 orang.

Mereka kemudian menetap di Kampung Tambak Bayan dan lantas bertahan hidup berdasarkan keahliannya masing-masing. "Kalau ayah saya adalah Tukang Masak. Dulu banyak restauran dan rumah makan di depan kampung ini, jalan raya Kramat Gantung. Ayah saya bekerja jadi tukang masak di sana," kenangnya.

Imigran lain yang menetap di Tambak Bayan bekerja sebagai tukang jahit dan tukang kayu. "Yang paling banyak adalah tukang jahit dan tukang kayu. Dulu kampung ini terkenal dengan tukang jahit dan tukang kayunya," katanya.

Sayang, generasi keturunan mereka di Kampung Bayan tak ada yang mewarisi keahlian orang tuanya. Menurut Gunawan, karena pekerjaan tukang masak, tukang jahit dan tukang kayu sama sekali tidak memberi kesejahteraan. Gunawan sendiri membuka warung kopi di depan rumahnya daripada mewarisi pekerjaan ayahnya sebagai tukang masak di restauran.

Anak-anak muda, keturunan generasi ketiga di Kampung Tambak Bayan pun, saat ini banyak yang menjadi buruh di perusahaan lain daripada melanjutkan keahlian yang dimiliki leluhurnya. "Bertahun-tahun kita hidup miskin di sini," ujar Gunawan. Membuat generasi penerus harus banting setir melakoni profesi lain untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Kandang Kuda
Gunawan mencontohkan, saking miskinnya, mayoritas para imigran hingga keturunannya bertahun-tahun tak ada yang mampu beli rumah di luar Kampung Tambak Bayan. Sejarah mereka menempati Kampung Tambak Bayan, Gunawan menjelaskan, adalah dengan membayar uang sewa ke Yayasan Koperindo.

"Dulu, petak-petak tanah yang kita tempati ini adalah kandang kuda. Kita diperbolehkan tinggal di sini dengan membayar sewa," terangnya. Gunawan ingat betul, saat kecil dulu, rumah bekas kandang kuda yang ditempatinya ini dulu terbangun dari sesek, gedek, dan papan kayu.

"Sekarang sudah bertembok dan berkeramik. Ini pun dulu yang menembok dan ngeramik berkat bantuan pemerintah," imbuhnya. Namun, sejak tahun 2007, warga sudah tidak lagi membayar sewa ke Yayasan Koperindo.

Ini setelah pengembang masuk dan mendirikan Hotel Vine Vide Vice (V3) di tengah kampung itu. "Makanya saya heran. Tanah ini milik yayasan kok tiba-tiba pihak hotel datang membawa sertifikat mengklaim lahan di perkampungan ini miliknya," ungkapnya.

Gunawan masih ingat betul sejak masa ayahnya masih hidup dulu harga sewa dikenakan tarif beberapa rupiah saja, hingga terakhir dirinya membayar uang sewa sebesar 100 ribu ke Yayasan Koperindo.

Gelap turun di Kampung Tambak Bayan. Hujan masih rintik-rintik. Warga merayakan Cap Go Meh dengan penuh kesederhanaan. Berbalut kemiskinan, di bawah lampu-lampu lampion dan pernak-pernik hiasan Imlek yang telah memudar, dan relokasi penggusuran untuk perluasan Hotel V3 tak pernah pasti. 

Oleh Slamet Agus Sudarmojo / Hanif N
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017