Jakarta (ANTARA News) - Saat menunggu kereta, teman, air di cerek mendidih atau pintu bioskop dibuka, kemungkinan besar Anda akan menghabiskan waktu dengan mengecek telepon genggam.

Dan setelah ada bunyi notifikasi, apakah Anda buru-buru mengecek telepon genggam untuk melihat siapa yang mengirim pesan? Dan apakah Anda merasa kesal ketika merasakan telepon genggam bergetar di saku, namun tidak bisa segera mengecek isinya?

Itu adalah dorongan kompulsif yang sulit diredam oleh sebagian besar dari kita.

Namun menurut Sharon Begley, penulis buku "Can't Just Stop: An Investigation of Compulsions", ada alasan psikologis di balik itu.

Penelitian dari tahun 1950-an menunjukkan bahwa karena dopamin menyenangkan, kesenangan itu membuat orang menjadi kecanduan. Tapi sekarang kita tahu lebih banyak.

Begley menuturkan bahwa apa yang muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah bahwa sirkuit dopamin sebenarnya memprediksi berapa banyak Anda akan menyukai sesuatu dan berapa banyak kesenangan yang akan didapat. Kemudian sirkuit dopamin memperhitungkan berapa banyak realitas sesuai dengan prediksi atau sebaliknya.

"Saat kenyataan tak sesuai ekspektasi, kita merasakan penurunan drastis dopamin. Rasanya tak menyenangkan, jadi kita berusaha melakukan sesuatu yang kembali membuat realitas sesuai ekspektasi," tulis dia sebagaimana dikutip laman Independent.

Jadi yang membuat orang tak bisa berhenti mengecek telepon genggam sebenarnya bukan denting notifikasi yang membuat kita buru-buru ingin memeriksa pesan, tapi antisipasi terhadap hal itu.

Dia percaya bila kita ingin lebih mandiri dari telepon genggam maka kita harus mengenali sumber kecemasan itu.

Tanyakan pada diri sendiri: "Memangnya gawat kalau saya tidak segera membaca pesan teks?" "Memangnya sangat gawat jika saya membaca teks atau email sejam sekali atau bahkan pada akhir hari?"

Anda harus berlatih perlahan dengan memisahkan diri dari telepon genggam, dimulai dari hanya sejam, kemudian selama makan malam, lalu coba tidak langsung mengeceknya tiap pagi.

Dalam wawancara dengan Broadly, Begley juga berbagi pandangannya terhadap cuitan kompulsif Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menjelaskan bahwa dia telah berbicara dengan sejumlah psikiater dan psikolog mengenai itu.

"Dia tidak tahan atas kemungkinan bahwa ia bukan orang terpandai di sana - bukan yang terhebat, paling kuat, dan superlatif dalam segala hal."

"Ketika dia merasa inferior atas alasan apa pun - mungkin karena dia membandingkan keramaian dengan banyaknya demo Perempuan pada Maret - yang tampaknya menimbulkan beberapa kecemasan dalam dirinya, dan mungkin mendorongnya bercuit. Dia bisa mengurangi kecemasannya lewat 140 karakter. "


Penerjemah: Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017