Badan Narkotika Nasional penah merilis kerugian negara akibat pencucian uang lewat transaksi narkoba yang dilakukan melalui Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank mencapai Rp60 triliun 2016."
Pekanbaru (ANTARA News) - Bank Indonesia Provinsi Riau berupaya memerangi praktek pencucian uang di daerah tersebut dengan menerapkan wajib miliki izin bagi pengusaha valuta asing atau Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB).

"Badan Narkotika Nasional penah merilis kerugian negara akibat pencucian uang lewat transaksi narkoba yang dilakukan melalui Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank mencapai Rp60 triliun 2016," kata Direktur Departemen Kebijakan dan Pengaturan Sistem Pembayaran BI Pusat Miftah Fauzi di Pekanbaru saat acara sosialisasi kebijakan baru KUPVA BB bagi puluhan pengusaha valuta asing di Pekanbaru, Kamis.

Miftah Fauzi menerangkan bahkan pernah ada satu kejadian transaksi narkoba melalui KUPVA BB tersebut dilakukan di Pekanbaru, Riau.

"BI mendapat info dari BNN ada penyelenggara KUPVA BB di Pekanbaru tersangkut pencucian uang dari transaksi narkoba 2012 lalu. Setelah diperiksa valas tersebut tidak berizin," urainya.

Dengan demikian sebut dia Riau rawan, dan memang dekat dengan negara luar.

Bibir pantai yang panjang sangat rawan terhadap praktek-praktek ilegal dan pencucian uang.

Untuk itulah sambungnya kebijakan baru yakni Peraturan Bank Indonesia No. 18/20/PBI/2016 Tanggal 3 Oktober 2016 dan juga Surat Edaran No. 18/42/ DKSP/ Tanggal 30 Desember 2016 tentang KUPVA BB perlu disosialisasikan. Agar pelaku usaha valas mampu memiliki pengetahuan untuk memahami siapa konsumennya/nasabahnya.

Ia berharap kebijakan ini akan mampu perangi praktek pencucian uang di daerah.

Sebab ada tiga upaya pengawasan yang akan melekat pada KUPVA BB membuat ketentuan bahwa tidak menggunakan rekening pribadi, membuat rekening atas nama perusahaan dan selalu berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis Traksasi Keuangan (PPATK).

Dengan demikian sebutnya pengawasan tidak semata oleh BI saja akan tetapi juga pemeriksaan secara tidak langsung dilakukan PPATK lewat pelaporan yang dilakuka KUPVA BB secara bulanan dan sewaktu-waktu.

"Selain pemeriksaan rutin tiap tahun oleh BI," tegasnya.

Ia menambahkan BI juga berkoordinasi dengan PPATK untuk pemantauan laporan transaksi yang mencurigakan dan saling memantau dan mengingatkan.

"Kami akan mendapat informasi dari PPATK jika ada indikasi BI akan dalami apakah rekening pemilik ini akan menjadi rekomendasi tidak jadi pemegang saham. Demikian juga terkait daftar terduga teroris kami selama ini mendapat informasi kepolisian kalau ada nasabah datang pengelola KUPVA BB akan disosialisasikan orang-orangnya. Pelayanan juga diberikan pemahaman kalau sampai ada orang mencurigakan," urainya lagi.

Disisi lain Kepala Divisi Sistem Pembayaran BI Riau Syahrul Baharisyah saat dikonfirmasi upaya sosialisasi kebijakan ini menjangkau wilayah pinggiran yang menjadi kantong wisata dan TKI ia menyatakan pihaknya akan bekerjasama dengan pekab se-Riau guna penyampaiannya.

Selain juga menghimpun informasi dari pengusaha valas yang ada di wilayah tersebut.

"Caranya akan minta informasi dari bank, kunjungi daerah tertentu, berinteraksi dengan KUPVA BB dan menanyakan apakah di sekitar mereka ada usaha yang sama, lalu mengajak mengurus izin," ucapnya.

Apalagi diakuinya melihat luasan kawasan Riau potensi usaha valas sangat besar dan mumpuni. Sementara jumlah yang terdaftar masih minim hanya 17.

Artinya masih banyak yang tidak miliki izin, ini terlihat dari total transaksi valas di Riau tiap tahun meningkat 50 persen.

"Transaksi valas tiap tahun naik hampir 40-50 persen, itu karena banyak yang berobat ke Malaysia," terangnya.

Jadi sambungnya bisa jadi ada potensial KUPVA BB di Riau, namun tidak semua miliki izin. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah BI.

"Makanya akan dikumpulkan kalau ditemukan akan dibina ini bisnis bagus, kalau ditutup akan menghambat perekonomian karena ini akan menjadi penunjang sektor wisata," tambahnya.

Pewarta: Fazar Muhardi dan Vera Lusiana
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017