Jakarta (ANTARA News) - Menjadi seorang pemimpin di dunia politik memang harus luwes dan harus punya sesuatu yang "interchangeable" (dapat dipertukarkan) serta tidak boleh kaku atau berprinsip "pokoknya", apalagi melihat pilihan politik seperti "hitam putih".

Politisi harus senantiasa berpikir cerdas, tanpa emosi, mampu "survive" di segala keadaan. Politik harus diletakkan sebagai seni memperoleh kekuasaan dengan berbagai kemungkinan. Maka tidak ada pemihakan yang bersifat mutlak-mutlakan. Tidak ada "musuh" bebuyutan.

Khusus untuk ukuran seperti ini, Anies Baswedan ternyata teruji dan layak diacungi jempol. Walau di awal berkarir sebagai pendidik atau akademisi, tapi setelah masuk politik dia layak mendapatkan apresiasi.

Sebagai pendidik seseorang harus bicara tentang "kebenaran" dari berbagai perspektif. Sedangkan sebagai politisi dia harus bicara tentang "kebaikan" bagi dirinya. Anies mampu melakukan itu, bahkan bisa mengubah citra diri, menyeberang sekat politik idiologis antara saat Pilpres dan Pilkada DKI.

Jujur, tidak semua orang mampu menjadi politisi seluwes Anies. Bisa jadi karena lawannya adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, politisi yang sangat kotroversial, sehingga pembenci Ahok tak banyak mengkritisi Anies yang bergeser cepat, dari ikut Konvensi Partai Demokrat, lalu menjadi orangnya Jokowi, kemudian merapat ke pihak lawan

Hebatnya, para "pembenci" Jokowi pun bisa menerimanya. Bisa jadi faktor agama dan "kebencian" pada Ahok mampu mengaburkan "sekat tebal idiologi politik" di masa Pilpres 2014.

Beda dengan orang awam, berpindah posisi dan mengubah kedekatan politik dari satu pihak ke pihak yang lain itu tidak mudah. Kebanyakan orang terlalu dalam memegang fanatisme. Terlalu emosional, bahkan menganggap sakral persoalan politik, sehingga keberpihakkan dianggap persoalan benar-salah.

Tapi melihat Anies sebagian bisa menerimanya. Di sini masyarakat justru perlu belajar dari Anies, minimal memahami bahwa politik itu seni drama untuk mencapai kekuasaan.

Ideologi politik, partai, teman "perjuangan" maupun "panggung media" bahkan mungkin "agama", bagi politisi semuanya hanya dilihat sebagai "alat" atau sarana untuk mencapai keberhasilan.

Anies telah sukses, menjalani laku sebagai politisi seperti ini. Politisi yang mampu menjadi aktor di satu sisi, bergeser menjadi aktor lain di sisi yang berbeda. Ia berhasil meraih kepercayaan dari banyak pendukung.

Hasil Quick Count Pilkada DKI, Anies berhasil menempel ketat Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama. Kesuksesan ini tidak menutup kemungkinan segera diikuti kesuksesan lain yang menghantarkan ke tangga jalan hidup lebih tinggi dirinya.

Selamat untuk Anies. Anda memiliki "kemampuan" politik yang tak kalah dengan politisi senior seperti Akbar Tanjung ataupun Setya Novanto. Sekali lagi selamat untuk Anies atas capaiannya.

*Penulis, Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

(A015/N004)

Oleh Prof. Dr. Henry Subiakto, S.H., M.Si.*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017