Bengkulu (ANTARA News) - Kawanan yang terdiri atas 17 gajah liar (Elephas maximus sumatranus) mendekati permukiman warga Desa Gajah Makmur di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, dan membuat warga resah.

"Sudah dua kali gajah mendekati permukiman dan ini sedikit aneh karena sebelumnya gajah liar tidak pernah sampai ke desa," kata Kepala Desa Gajah Makmur, Gutomo, di Mukomuko, Jumat.

Gutomo mengatakan kawanan gajah liar pernah mendekati permukiman warga pada pertengahan 2016 dan kembali mendekati rumah warga akhir pekan lalu.

Kemunculan gajah di sekitar permukiman warga itu membuat resah warga karena binatang besar itu masuk ke kebun sawit. Pada Minggu (12/2) kedatangan gajah-gajah itu membuat 100 pohon sawit di Kebun Kas Desa (KKD) rusak.

"Lebih meresahkan kalau gajah memasuki permukiman, kami belum pengalaman menghalau gajah," ucapnya.

Ia mencontohkan waktu gajah pertama kali muncul di sekitar desa, warga panik dan berusaha mengusirnya dengan membunyikan petasan dan meriam buatan. Namun tindakan itu justru membuat gajah itu berbalik seolah hendak mengejar warga.

Desa Gajah Makmur yang masuk wilayah Kecamatan Malin Deman berbatasan dengan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Rami.

Menurut Koordinator Program AKAR Network Ali Akbar habitat satwa langka itu yang sudah terisolasi akibat konflik pemanfaatan lahan.

"Gajah itu datang dari kawasan pusat latihan gajah Seblat, masuk ke hutan Air Rami lewat kebun sawit PT Alno," katanya.

Ia memprediksi gajah-gajah tersebut tertahan di hutan produksi terbatas Air Rami dan tidak bisa kembali ke pusat latihan gajah Seblat karena pengamanan yang dilakukan dengan cara membuat api di sekitar perkebunan membuat gajah tidak bisa melintas.

Rute lain melalui perambahan hutan di Air Kuro juga membuat gajah tidak bisa melintas karena di wilayah itu ada areal perkebunan sawit yang dijaga ketat.

"Perlu resolusi baru untuk mengatasi konflik manusia dengan gajah sehingga tidak ada yang menjadi korban, termasuk perusahaan juga perlu menarik diri dari wilayah yang masuk koridor gajah," katanya.


Pewarta: Helti Marini Sipayung
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017