Jakarta (ANTARA News) - Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101 sudah sesuai dengan prosedur.

"Ya, kalau di dalam perencanaannya itu yang jelas jakstra (kebijakan dan strategi) ada di Kementerian Pertahanan. Sehingga Kepala Staf sudah berkirim surat ke kemenhan untuk proses sampai dengan kontrak. Jadi semuanya sudah dipenuhi administrasinya," kata KSAU di Markas Besar TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat.

Ia mengatakan, pengadaan helikopter memang dibutuhkan bagi TNI Angkatan Udara mengingat helikopter angkut yang memiliki kemampuan SAR ada masih kurang.

"Kita memiiki tujuh spot, yakni Iswahyudi (Madiun); Malang, Makassar, Pekanbaru, dan Pontianak ditambah spot-spot yang lain, seperti latihan Cakra di Medan dan Halim. Berarti tujuh pesawat harus berada di luar. Sedangkan saat ini kondisinya ada Lanud yang melakukan SAR dengan menggunakan helikopter Colibri. Ini tidak mungkin dan tidak memenuhi syarat, sehinga KSAU yang lama (Marsekal Purn Agus Supriatna) berpikir kebutuhan mendesak akan heli angkut pasukan harus diadakan," kata Hadi.

Sehingga, lanjut dia, pembelian helikopter berubah dari heli VVIP ke heli angkut yang memiliki kemampuan SAR.

"Itu pun masih beralasan karena dalam postur TNI, kita membutuhkan empat skuadron heli angkut," katanya.

Dalam rencana dan strategis (Renstra) II menyatakan TNI AU harus melakukan pengadaan enam heli angkut dan empat heli VVIP, sehingga muncul pengadaan Helikopter AW 101.

"Rencananya satu dulu. Kemudian akan diikuti heli berikutnya dengan menambah heli VVIP dan heli angkut," ujarnya.

Mantan Irjen Kemhan ini menambahkan karena ada permasalahan yang mempengaruhi pengambilan keputusan sehingga pembelian heli VVIP dihentikan.

"Namun karena ada permasalahan di India itu mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Untuk itu kita hentikan untuk pembelian heli VVIP," imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, Hadi kembali menegaskan, pengadaan Helikopter AW101 jenis VVIP yang kini sudah tiba di Indonesia berasal dari anggaran unit organisasi di Angkatan Udara. TNI AU, kata Hadi, bisa menganggarkan alutsista apabila digunakan secara khusus.

"Pada waktu itu kekhususannya adalah akan mengadakan heli VVIP. Namun karena perkembangan situasi, akhirnya presiden memutuskan digagalkan dan tidak jadi," ujarnya.

Sebelumnya, pembelian satu unit helikopter AW101 tipe VVIP menuai polemik. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo kompak menyatakan tidak tahu menahu soal pembelian Helikopter tipe VVIP ini.

Dalam rencana strategis (renstra) II Minimum Essential Forces (MEF) 2015-2019, TNI AU berencana membeli tiga Helikopter AW101 tipe VVIP dan enam Helikopter AW101 tipe angkut pasukan dan SAR. Sementara pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak penggunaan Helikopter jenis VVIP ini.

Presiden Jokowi menolak pembelian heli angkut VVIP AW101 buatan Inggris dan Italia seharga 55 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 761,2 miliar per unit itu karena dinilai terlalu mahal dan tak sesuai kondisi keuangan negara.

TNI AU kemudian mengajukan pembelian satu heli AW101 melalui surat kepada Kementerian Pertahanan pada 29 Juli 2016 untuk kebutuhan angkut militer.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017