Tidak ada yang keliru pada apa yang disebut sebagai pembangunan. Pembangunan justru merupakan bagian yang bukan saja sekadar melekat namun bahkan mutlak hukumnya wajib bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Bahkan dapat dikatakan bahwa pembangunan merupakan bagian hakiki peradaban. Masyarakat yang tidak melakukan pembangunan berarti tidak memiliki peradaban atau memiliki peradaban tetapi mandeg dan macet alias tidak berkelanjutan.

Oleh karena itu, sudahlah benar bahwa Presiden Jokowi meletakkan pembangunan infrastruktur sebagai primadona kepresidenan dirinya. Presiden Jokowi mencanangkan program pembangunan infrastruktur di gugus terdepan perjuangan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.

Sayang setriliun sayang, semangat pembangunan infrastruktur yang digelorakan Presiden Jokowi kerap kali ditatalaksanakan secara keliru, akibat penafsiran yang keliru terhadap apa yang disebut sebagai pembangunan.

Pembangunan infrastruktur ditafsirkan sebagai berhala lalu dipaksakan, menjadi tujuan keramat maka hukumnya wajib ditatalaksanakan dengan cara yang boleh menghalalkan segala-galanya, demi mencapai tujuan yang diberhalakan sebagai keramat !

Akibat terbius gelora semangat pembangunan dengan berhala sebagai tujuan sakral itu maka pembangunan infrastruktur keliru ditafsirkan sebagai seolah sama saja dengan peperangan melawan penjajah.

Maka pembangunan yang ditafsirkan sebagai perang melawan angkara murka penjajah dilaksanakan dengan semangat "maju tak gentar, rawe-rawe rantas malang-malang putung" yang siap bukan saja mengalahkan namun bahkan memusnahkan musuh yang ingin menjajah bangsa Indonesia.

Padahal jelas pembangunan sama sekali beda dari peperangan. Dalam pembangunan tidak ada peperangan melawan penjajah yang harus dikalahkan apalagi dimusnahkan.

Maka pembangunan infrastruktur menjadi keliru apabila ditatalaksanakan dengan ketegahatian mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya, apalagi rakyat yang kesemuanya itu sama sekali bukan merupakan musuh yang harus dimusnahkan namun justru merupakan subjek yang harus diutamakan untuk dijunjung tinggi oleh pembangunan.

Pembangunan Nirkelanjutan
Pembangunan infrastruktur dengan mengorbankan lingkungan alam, budaya, sosial apalagi rakyat merupakan kekeliruan yang berlapis.

Pembangunan dengan mengorbankan alam dan rakyat jelas keliru sebab tidak selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang telah diikrarkan oleh Persatuan Bangsa Bangsa dan disepakati negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia sebagai pedoman pembangunan abad XXI.

Agenda pembangunan berkelanjutan secara lugas menepis keyakinan pembangunan infrastruktur hanya bisa dilakukan dengan mengorbankan alam dan manusia seperti yang diyakini secara dogmatis oleh para penganut paham kapitalisme liberal utilitarianistik yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.

Para penganut semangat pembangunan nirkelanjutan sebagai lawan ideologi agenda pembangunan berkelanjutan secara fundamentalis meyakini bahwa alam dan rakyat justru sebagai penghalang pembangunan maka harus disingkirkan demi memperlancar dan mempercepat proses pembangunan.

Maka apa yang disebut sebagai amdal dan hak asasi manusia diyakini sebagai musuh pembangunan yang harus diabaikan. Mengutamakan amdal dan hak asasi manusia dianggap sebagai biang keladi pemborosan waktu, biaya, energi lahir batin, serta dianggap sebagai racun moralistas penyebab inefisiensi pembangunan.

Semangat pembangunan nirkelanjutan sebagai antagonis agenda pembangunan kerkelanjutan itu lah yang menyebabkan penatalaksana pembangunan dengan cara yang tidak segan melanggar hukum, hak asasi manusia, Pancasila, agenda pembangunan berkelanjutan.

Keyakinan Dogmatis
Semangat pembangunan nirkelajutan terbukti telah berhasil menyengsarakan rakyat jelata di Kampung Pulo, Bukit Duri, Kalijodo, Akuarium, Luar Batang, Penjaringan, Kalbata, Sukomulyo, Kendeng, Papua dan berbagai pelosok Nusantara.

Bahkan demi membenarkan penggusuran rakyat yang sebenarnya tidak berdaya melawan penggusuran masih perlu ditambah dengan jurus pembentukan opini publik melalui media massa dan media sosial bahwa rakyat tergusur adalah warga liar yang menduduki tanah negara secara kriminal maka hukumnya wajib tidak bisa tidak mutlak harus digusur !.

Vonis majelis hakim PTUN 5 Januari 2017 yang memenangkan gugatan warga Bukit Duri terhadap angkara murka penggusuran yang dilakukan oleh penggusur sebenarnya merupakan bukti bahwa rakyat tergusur di Bukit Duri bukan merupakan warga liar.

Sungguh menakjubkan keteguhan keyakinan dogmatis pihak penggusur yang jelas menganut mazhab pembangunan nirkelanjutan sehingga tidak segan mengorbankan rakyat demi pembangunan infrastruktur, maka tegas menolak putusan Majelis Hakim PTUN dengan sesumbar akan naik banding.

Terlanjur Dilakukan
Kekeliruan tatalaksana pembangunan infrastruktur memang telah terlanjur dilakukan di masa lalu, maka ibarat "nasi sudah terlanjur menjadi bubur". Namun sebenarnya tiada alasan untuk berputus asa sebab bubur potensial diolah menjadi makanan yang lebih lezat ketimbang nasi.

Maka kini harapan terletak pada para kepala daerah yang akan terpilih pada Pilkada 2017. Insya Allah, para kepala daerah yang telah terpilih oleh rakyat untuk memimpin pembangunan infra struktur di daerah masing-masing tidak akan tega mengkhianati rakyat yang telah memilih mereka.

Insya Allah, para kepala daerah tidak akan tega mengorbankan rakyat sebagai tumbal pembangunan infrastruktur. Insya Allah, para kepala daerah akan menatalaksana pembangunan infrastruktur tanpa mengorbankan rakyat selaras dan sesuai dengan hukum, HAM, Pancasila serta agenda pembangunan berkelanjutan.

*) Penulis adalah seniman dan budayawan, serta pendiri Pusat Studi Kelirumologi

Oleh Jaya Suprana *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017