Jakarta (ANTARA News) - Kegiatan produksi konsentrat (emas, perak, dan tembaga) oleh PT Freeport Indonesia kini memasuki babak baru, ketika Pemerintah Indonesia menyodorkan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti kontrak karya.

Manajemen Freeport laksana kebakaran jenggot menanggapi IUPK yang dianggap merugikan perusahaan yang berdiri pada 7 April 1967 itu.

Presiden dan CEO PT Freeport Indonesia bahkan terbang langsung dan tinggal beberapa saat di Jakarta, demi menyelesaikan persoalan yang meresahkan itu.

"Saya telah berada di Jakarta selama beberapa hari untuk menangani berbagai permasalahan yang saat ini dihadapi Perusahaan, sehubungan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait ekspor konsentrat," kata President dan CEO Freeport-McMoran Inc. Ricard C. Adkerson dalam keterangan persnya.

Tidak tanggung-tanggung perusahaan yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat itu bahkan mengancam akan menyeret Pemerintah Indonesia ke sidang arbitrase karena tindakan wanprestasi dan pelanggaran kontrak karya.

Perusahaan itu juga mengancam untuk melakukan PHK besar-besaran terhadap ribuan karyawannya yang hampir seluruhnya adalah WNI.

"Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya, akan terjadi konsekuensi-konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan, termasuk penangguhan investasi modal, pengurangan signifikan dalam pembelian barang dan jasa domestik, hilangnya pekerjaan bagi para kontraktor dan pekerja kami, karena kami terpaksa menyesuaikan pengeluaran-pengeluaran kegiatan usaha kami sesuai dengan pembatasan produksi tersebut," tutur Adkerson.

Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan secara penuh persoalan tersebut kepada Menteri ESDM Ignatius Jonan dan menolak berkomentar saat ditanya oleh wartawan perihal tersebut.

"Tanya ke Menteri ESDM," kata Presiden saat ditanya soal ancaman arbitrase Freeport kepada Pemerintah Indonesia.


Perlakuan Istimewa

Sejak pertama dibentuknya hingga kini, Freeport tercatat telah menikmati berbagai distingsi dan perlakuan istimewa dari Pemerintah Indonesia.

Namun sejarah berganti, di bawah Presiden Jokowi, Indonesia ingin Freeport mendivestasi 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia melalui IUPK untuk menggantikan kontrak karya.

Presiden Jokowi tampaknya mempercayakan betul amanah itu kepada duet Ignatius Jonan sebagai Menteri ESDM dan Wakilnya Arcandra Tahar.

Presiden seakan menyadari bahwa konsentrat yang selama ini ditambang, diolah, dan dieksplorasi oleh Freeport itu berada di wilayah kedaulatan NKRI sehingga harus tunduk pada segala hukum yang ada di Indonesia.

Banyak pihak menganggap kontrak karya tak relevan lagi sehingga Freeport tak perlu lagi menikmati perlakuan khusus dari pemerintah RI.

Komplek tambang Grasberg di Bumi Papua merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan tembaga yang dapat diambil yang terbesar di dunia, selain cadangan tunggal emas terbesar di dunia memang sudah selayaknya diberdayakan secara optimal untuk kemakmuran Papua dan Indonesia.

Grasberg yang berada di jantung suatu wilayah mineral yang sangat melimpah, di mana kegiatan eksplorasi yang berlanjut membuka peluang bagi anak bangsa untuk mengaplikasikan ilmu, pengetahuan, dan teknologinya yang semakin mumpuni untuk mengelola tambang secara mandiri.

Sikap pemerintah semakin tegas sebagaimana juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menegaskan bahwa pemerintah Indonesia bukanlah objek yang bisa didikte atau diatur oleh Freeport terkait penetapan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khsusu (IUPK).

Maka pemerintah pun tak gentar dengan ancaman arbitrase yang dilancarkan Freeport.

"Bagus dong kalau arbitrase, biar ada kepastian. Semua aturan ketentuan sudah kita berikan, enggak boleh dong kita didikte. Kan dia harusnya divestasi 51 persen itu 2009 dia harus bangun smelter, tapi dia kan enggak lakukan," ujar Luhut.


Perlu Dukungan

Riuh rendah persoalan Freeport yang memasuki babak baru tahun ini seakan tertelan isu Pilkada yang seperti tak berujung pangkal.

Masyarakat ibarat tak lagi peduli dan menganggap kasus tersebut sebagai sesuatu yang serius.

Maka Pemerintah pun tampak layaknya berjuang sendiri menghadapi manajemen perusahaan yang telah setengah abad beroperasi di Tanah Air itu.

Sejatinya ketegasan Pemerintah dalam menangani Freeport memerlukan dukungan yang penuh dari seluruh lini masyarakat di pelosok nusantara.

Apa yang dihadapi pemerintah Indonesia terkait Freeport bukan sederhana, sebab ada tiga masalah besar yang harus segera ditemukan titik temunya yakni soal stabilitas dan kepastian untuk investasi yang diminta Freeport, izin ekspor konsentrat, dan divestasi saham.

Mantan Staf Khusus Menteri ESDM Said Didu mengatakan jika pemerintah dan Freeport tak bisa mencapai titik temu untuk 3 masalah ini, situasi sosial dan ekonomi di Papua bisa kacau.

"Ini yang benar-benar harus dihindari. Dampak sosial ekonomi di Papua menurut saya paling krusial," ucap Didu.

Namun, Menteri ESDM Ignatius Jonan yang dipilih Presiden Jokowi memangku jabatan tersebut membuktikan kekeraskepalaannya.

Ia sama sekali tak gentar dengan ancaman arbitrase Freeport dalam 120 hari jika tak ditemukan titik temu.

Bahkan ancaman PHK pun bukan sesuatu yang membuat Jonan mundur selangkah pun.

"Ini sebenarnya mau berbisnis atau berperkara. Freeport itu kan badan usaha jadi berbisnis. Tapi kalau dalam perundingan tidak sampai titik temu memang hak-hak masing-masing bawa ke badan Arbitrase. Tapi bukan hanya Freeport loh, pemerintah juga bisa," kata Jonan, menegaskan.

Maka dimulailah babak baru tersebut, ketika semuanya saling bertahan untuk mempertahankan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak.

Indonesia pun semestinya menyerukan hak atas urang adat dan masyarakat Papua atas kekayaan yang terkandung dalam perut bumi mereka.

Oleh hanni sofia soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017