Jakarta (ANTARA News) - Ahli agama Islam dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas yang dihadirkan dalam lanjutan sidang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan terdapat lima persyaratan untuk seseorang bisa menafsirkan Al-Quran.

"Pertama, dia harus bisa menguasai Bahasa Arab," kata Yunahar dalam sidang kesebelas kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.

Kedua, kata dia, orang itu harus menguasai Ulumul Quran.

"Bagaimana dia bisa menafsirkan Al-Quran apabila dia tidak menguasai Ulumul Quran termasuk di dalamnya Ulumul Tafsir," kata Yunahar.

Selanjutnya yang ketiga, Yunahar menyatakan orang itu harus mengetahui Ulumul Hadits karena Al-Quran akan ditafsirkan oleh hadits.

"Keempat dia harus tahu Ilmu Fiqih karena Al-Quran berbicara tentang hukum, dia juga harus menguasai Sirah Nabawiyah karena Nabi yang membawa Al-Quran kepada umatnya," tuturnya.

Terakhir, orang itu harus mengetahui tentang budaya Arab karena Al-Quran diturunkan dalam budaya Arab pada waktu itu, ucap Yunahar yang juga pengurus di Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Sementara itu menurut Yunahar, yang memberatkan dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu adalah adanya kata "dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51".

"Kalau dibohongi pakai Al-Maidah 51 berarti Al-Maidah 51 itu sebagai alat untuk berbohong. Al-Quran itu kitab benar yang memberatkan dari kalimat itu adalah adanya kata-kata dibohongi," ujarnya.

Sebelumnya, ahli agama Islam dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar juga telah memberikan keterangan dalam sidang lanjutan Ahok.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga memanggil ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017