Jakarta (ANTARA News) - Ingin mencicipi makanan khas dari negara pimpinan Kim Jong Un? Coba berkunjung ke Pyongyang Restaurant di Boulevard Barat Raya Kelapa Gading, Jakarta. 

Menu restoran itu tak jauh beda dengan masakan tetangganya Korea Selatan, seperti kimchi chigae, bulgogi, tteokbokki.

Alat makannya juga serupa. Sumpitnya terbuat dari besi dan berbentuk pipih, tidak bulat seperti di kebanyakan restoran Jepang.Bagian atasnya berhias ukiran bunga tulip.

Sendoknya, yang berwarna kekuningan dan berhias ukiran daun pada ujungnya, bergagang lebih panjang dibandingkan rata-rata sendok di Indonesia.




Sementara piring saji hingga wadah kecil untuk bumbu semuanya serba putih. 

Apakah semua alat makan diboyong langsung dari Korea Utara? Ternyata tidak. Di balik mangkuk besi berisi nasi terpampang jelas tulisan Made In China.


Anda bisa menemukan variasi masakan di buku menu dengan penjelasan tiga bahasa --Indonesia, Korea, Inggris--, mulai dari yang dipanggang, tumis, kukus, goreng, hingga berkuah.

Bahasa menjadi masalah utama dalam berkomunikasi dengan pelayan restoran yang tidak fasih berbahasa Indonesia dan punya kosa kata terbatas. Staf lokal sama sekali tidak ada, jadi pengunjung yang tidak bisa berbahasa Korea harus berusaha lebih keras bila ingin rasa penasaran terjawab. 

Ada menu yang membuat penasaran karena namanya belum pernah didengar, Grilled Wild Plant alias Dodog Panggang. Namun sayang pelayan tidak bisa menjelaskan tanaman macam apa yang diolah menjadi masakan itu.

"Sayur Korea," Choe Un Hyang berkata singkat saat ditanya lebih rinci mengenai hidangan itu.

Ketika ditanya apa makanan khas Korea Utara yang lain, dia merekomendasikan ikan Korea yang tidak ada di dalam daftar menu. 

Tetapi ia kesulitan menjelaskan dalam bahasa Indonesia apa jenis ikan dan bumbu serta cara memasak. Pelayan itu hanya menyebut nama ikan dalam bahasa Korea.

Tidak ada daftar minuman dalam buku menu. Tamu restoran harus bertanya pada pelayan bila ingin minuman selain teh tawar yang disediakan gratis dalam teko kecil yang diletakkan di meja.


Ketika masuk ke restoran, kita bisa melihat lemari pendingin kecil yang berisi berbagai minuman, mulai dari air mineral, soda, kopi kaleng hingga alkohol. 

Tamu restoran bisa memesan apa yang ada di sana, atau menyebut satu-satu minuman lain yang lazim di restoran seperti jus buah karena pelayan tidak menyebut secara rinci apa saja daftar minuman yang tersedia.

Dan, sekali lagi ingat bahwa ini bukan restoran Korea Selatan. Menyebut nama-nama makanan atau minuman khas negeri Ginseng hanya akan membuat pelayan bingung.

Contohnya adalah minuman hallabong yang berisi jeruk khas pulau Jeju. Ketika nama hallabong disebut, paras pelayan justru memancarkan tanda tanya, kelihatannya nama itu asing di telinganya.

ANTARA News memesan kue beras pedas alias tteokbokki, daging sapi bakar dan mie dingin Pyongyang.

Pelayan itu kembali ke meja kasir dan menyampaikan pesanan lewat walkie talkie. Terdengar suara perempuan yang menjawab sang pelayan di walkie talkie itu.

Setelah itu ia beranjak ke dapur dan membawa tiga piring kecil berisi makanan pembuka berupa ikan teri kering, kerupuk dan irisan tipis kimchi lobak. 


Tak berapa lama, tteokbokki dihidangkan dalam piring putih besar bersama irisan bawang bombay. Bentuk kue berasnya sedikit lebih besar dari yang biasa disajikan di restoran Korea Selatan dengan bumbu lebih pedas. 


Penampilan daging sapi bakarnya berbeda 180 derajat dari foto di buku menu yang menggugah selera. 

Biasanya daging sapi mentah akan dibakar langsung saat itu juga di depan pembeli supaya pembeli bisa menentukan sendiri tingkat kematangan daging yang diinginkan dan menyantapnya saat masih hangat.

Di restoran ini, daging yang disajikan sudah dibakar hingga matang oleh koki. Rasanya gurih dan relatif cocok di lidah Indonesia, tapi dagingnya sudah dingin, seperti sudah dimasak sebelumnya dan hanya dihangatkan saat ada yang pesan.

Hanya ada sekitar 20 potongan kecil daging sapi bertabur biji wijen di piring saji. Tidak sebanding dengan harganya yang nyaris Rp300.000.

Sebagai pelengkap, ada daun selada, bawang putih, irisan cabai hijau serta bumbu pedas yang penampakannya mirip sambal terasi.

Daging dimakan dengan lebih dulu membungkus daging dan sedikit bumbu menggunakan selada, bila suka bisa tambah dengan bawang putih dan irisan cabai, baru dimakan.



Pesanan terakhir, mie dingin Pyongyang disajikan dalam mangkuk lebar. Mie ditata sedemikian rupa dalam mangkuk lebar. Penampilannya mirip dengan gambar di daftar menu.

Pada bagian terbawah ada mie tipis kenyal yang lebih mudah dimakan bila terlebih dahulu dipotong dengan gunting. Di atas mie ada potongan kol, daging ayam, dan bumbu pedas berwarna merah. 

Sebagai pemanis, dua iris timun diletakkan di bagian teratas. Setiap porsi dilengkapi dengan setengah telur rebus.

Sebelum semua bahan diaduk, kuah terasa terlalu hambar. Setelah diaduk pun rasa kuah tetap tidak gurih seperti selera rata-rata orang Indonesia. 

Irisan semangka segar nan manis menjadi penutup dari pengalaman makan di Pyongyang Restaurant.

Menurut Choe Un Hyang, Pyongyang Restaurant sudah ada di Kelapa Gading selama tiga tahun. Restoran ini sebelumnya juga punya cabang di Kebayoran Baru namun sudah ditutup.

Saat disambangi ANTARA News pada Selasa (21/2) sore, tidak ada pengunjung yang datang kecuali seorang pria yang kemudian disambut hangat oleh para pelayan dan diantar ke lantai atas. 

Namun Choe Un Hyang mengatakan biasanya restoran ramai saat makan siang. Pembelinya bervariasi, termasuk orang-orang asing dari Korea, China maupun Jepang. 

Harga makanan di restoran ini antara harga Rp65.000 hingga Rp300.000. Bersiaplah merogoh kocek lebih dalam bila ingin menyantap menu serba daging karena satu porsi daging harganya mencapai ratusan ribu rupiah. 

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017