Jakarta (ANTARA News) - Kepolisian Malaysia belum memiliki cukup bukti untuk menuntut warga negara Indonesia (WNI) berinisial SA yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan di Malaysia terhadap seorang pria Korea Utara yang diduga sebagai Kim Jong-nam, yaitu saudara tiri pemimpin Korut Kim Jong-un.

"Fakta bahwa penyidik meminta perpanjangan masa penahanan selama tujuh hari menunjukkan bahwa bukti-bukti yang ada saat ini belum cukup untuk melakukan penuntutan," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal di Jakarta, Rabu.

Menanggapi rumor yang beredar mengenai kemungkinan SA memang terlibat pembunuhan dan merupakan seorang agen Korut, Iqbal mengatakan tidak ingin berspekulasi atau membuat kesimpulan apa pun sebelum proses hukum selesai dijalankan.

"Artinya masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan hukum terhadap kasus ini," ujar dia.

Iqbal juga menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan tetap menghormati proses hukum yang berjalan dan masih terus meminta dan menunggu akses kekonsuleran untuk memberi pendampingan hukum bagi SA.

"Kami menghargai proses hukum yang berjalan di Malaysia, dan sampai saat ini masih menunggu diberikannya akses kekonsuleran. Ini akan menjadi fokus kami," kata dia.

Menlu RI Retno Marsudi pada Senin (20/2) di Filipina melakukan pertemuan trilateral dengan Menlu Malaysia Dato Sri Anifah dan Menlu Vietnam Panh Binh Minh untuk membahas warga Indonesia dan Vietnam yang diduga terlibat pembunuhan seorang pria Korea Utara di Malaysia.

Dalam pertemuan itu, Menlu Malaysia menyampaikan perkembangan terkait proses penyidikan yang sedang dilakukan oleh pihak keamanan Malaysia.

Menlu Malaysia menekankan bahwa proses investigasi masih terus dilakukan, dan sampai saat ini berbagai informasi yang dibutuhkan belum sepenuhnya didapatkan oleh pihak kepolisian dari seorang WNI dan seorang warga Vietnam yang ditahan.

Sesuai dengan aturan hukum Malaysia, selama proses investigasi masih dilakukan, kedua tahanan tidak dapat ditemui oleh orang lain di luar para penyelidik.

Menanggapi hal itu, Menlu RI menekankan kembali agar akses kekonsuleran bagi WNI yang ditahan segera dibuka. Menlu Retno mengingatkan bahwa pemberian akses kekonsuleran merupakan wajib diberikan secepatnya sesuai dengan Konvensi Wina.

Walaupun staf Kedutaan Besar RI dan pengacara yang ditunjuk telah bertemu dengan penyelidik dan mendapatkan informasi bahwa kondisi WNI tersebut dalam keadaan sehat, namun akses kekonsuleran tetap segera dibutuhkan.

Lebih lanjut Menlu RI menyampaikan bahwa pemberian akses kekonsuleran kepada WNI yang ditahan juga dapat membantu memfasilitasi komunikasi antara penyelidik dengan WNI yang ditahan.

Permintaan serupa disampaikan pula oleh Menlu Vietnam, yang menekankan bahwa pemberian akses kekonsuleran adalah hak dasar bagi warga negara asing (WNA) yang ditahan di negara lain.

Menanggapi permintaan tersebut, Menlu Malaysia menyampaikan bahwa walaupun investigasi masih berlangsug, Menlu Malaysia akan segera berkoordinasi dengan pihak kepolisian Malaysia agar permintaan akses kekonsuleran dapat diberikan secepatnya.

Sebelumnya, Kepala Satuan Polisi Diraja Malaysia, Inspektur Jenderal Polisi Tan Sri Khalid Abu Bakar mengatakan polisi Malaysia telah menangkap seorang wanita dengan paspor Indonesia.

Perempuan berinisial SA itu ditangkap sehubungan dengan dugaan keterlibatan dalam pembunuhan seorang pria yang diduga sebagai Kim Jong-nam, saudara tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.

"Berdasarkan paspor tersebut, dia berasal dari Serang, di Indonesia. Dia diidentifikasi berdasarkan rekaman CCTV di bandara dan sendirian pada saat penangkapan," kata Tan Sri Khalid Abu Bakar.

Jong-nam (45) diduga dibunuh oleh dua perempuan yang memercik wajahnya dengan bahan kimia di terminal keberangkatan Bandara Internasional Kuala Lumpur 2, Senin (13/2), sekitar pukul 09.00 waktu setempat saat akan berangkat ke Makau.

Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017