Ketika penguasa dan ordenya yang paling otokratis dalam sejarah politik di Tanah Air masih tegak, dunia prosa fiktif diguncang oleh kehadiran sebuah novel pemenang sayembara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, yakni novel Saman karya novelis pendatang baru Ayu Utami.

Bekas wartawati Forum Keadilan yang aktivis dalam pergerakan jurnalis independen itu bisa dibilang mengguncang dunia sastra dalam kategori prosa fiktif karena para juri yang menilai karyanya memberikan pujian yang tak tanggung-tanggung.

Sapardi Djoko Damono, penyair yang juga pemikir sastra yang berwibawa dan dihormati oleh siapapun yang berkubang dalam sastra Indonesia kurang lebih berujar bahwa Saman merupakan novel yang ditulis dengan teknik penulisan yang belum pernah ada dalam sejarah sastra Indonesia.

Ignas Kleden, sosiolog yang sering menulis esai kesastraan beraroma sosial politik, memujinya dan mengibaratkan kata-kata yang tertuang dalam novel serupa kristal-kristal yang berkilau.

Faruk HT, dosen sastra Universitas Gadjah Mada dalam coret-coret di teks novel yang diperiksanya tak menyembunyikan keterkejutannya di halaman-halaman novel yang akhirnya digandakan dan diperjualbelikan di lingkungan komunitas sastra sebelum diterbitkan secara resmi. Faruk menulis di bagian kalimat-kalimat yang memukaunya itu dengan kata-kata pujian paradoksal seperti: edan, kentir.

Setelah terbit, Saman diperbincangkan secara luas di media massa, di forum-forum diskusi baik di tempat umum maupun di kampus. Seketika Ayu Utama jadi selebritas. Tak sedikit kekaguman mahasiswa, misalnya saat diskusi di Kampus IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Ciputat, kini bernama Universitas Islam Negeri (UIN), atas novel itu karena pengalimatannya yang segar dan tak membosankan.

Setelah era Saman yang mengguncang publik sastra, tak ada kehebohan sastrawi yang menyamainya. Lalu muncul Eka Kurniawan dengan novel-novelnya yang lebih banyak diapresiasi oleh lembaga-lembaga pemberi hadiah di mancanegara. Kebesaran Eka tak lepas karena pembabtisan literer yang dilakukan indonesianis Benedict Anderson.

Maman S Mahayana yang menulis kritik atas salah satu novel terbaik Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka, menilai karya itu mengandung anakronisme yang antara lain terefleksikan pada deskripsi tentang fenomena ojek di era kolonial.

Gebyar Cantik Itu Luka jelas tak sefenomenal Saman. Meski demikian, Eka melambung karena karyanya sempat menjadi kandidat peraih penghargaan Booker Prize di Inggris, yang pernah memberi anugerah pada Arundhaty Roy untuk novel cemerlangnya The God of Small Things, yang diindonesiakan dengan judul Yang Maha Kecil.

Setelah suasana adem ayem dalam sastra Indonesia pasca-Cantik Itu Luka, muncullah novel Amba, yang berkisah tentang tragedi politik tahun 60-an. Laksmi Pamoentjak, penulisnya, berkibar lewat pembahasan para kritikus terhadap karya fenomenal itu.

Kini muncul nama baru Martin Suryajaya dengan novel perdananya bertajuk Kiat Sukses Hancur Lebur.

Sebuah majalah berita yang secara rutin setiap tahun memilih Tokoh Seni di Tanah Air telah menganugerahi predikat prestisius itu pada Martin karena novelnya dianggap melahirkan warna baru dalam penulisan prosa fiktif.

Salah satu juri yang menentukan terpilihnya Martin sebagai Tokoh Seni untuk kategori sastra adalah sastrawaan Seno Gumira Adji Darma. Ketahanan Martin dalam merangkai humor dari awal hingga akhir novel itu dinilainya sebagai kekuatan novel sehingga mengalahkan kandidat lainnya.

Faktor lain yang membuat Martin terpilih sebagai Tokoh Seni tahun ini karena bentuk tak lazim dari novel, yang tak dibangun dengan pola novel konvensional dengan unsur-unsur utamanya seperti plot, latar, karakterisasi dan seterusnya.

Tampaknya, Martin telah menorehkan dirinya dalam garis sejarah sastra Indonesia. Namun, untuk melihat apakah Kiat Sukses Hancur Lebur akan memberi andil pada nilai kualitas sastra, publik masih perlu menunggu untuk mengukur kadar keabadian atau keklasikannya.

Sebuah novel menjadi besar dan bernilai sastra, menurut parameter konvensional yang paling diterima oleh banyak kalangan, adalah kesintasannya dalam menembus arus waktu.

Sebuah novel yang tak pernah berhenti dibaca oleh publik, entah sastra entah bukan, pastilah cenderung dinilai klasik dan bernilai. Apalagi jika novel itu senantiasa dijadikan objek telaah bagi para sarjana sastra.

Dengan nada setengah berseloroh James Joyce bilang: kalau mau bikin novel abadi, tulislah sesuatu yang enigmatik, mengundang teka-teki yang tak pernah selesai dibicarakan kritikus sastra.

Parameter lain untuk menilai keabadian dan kebesaran sastra, dalam hal ini puisi, yang telah dibuktikan dikandung oleh puisi-puisi Chairil Anwar adalah potensinya melahirkan makna-makna baru setiap penelaah menafsirkan, mengupas dan mengapresiasinya.

Para penelaah puisi-puisi Chairil mengakui bahwa mereka selalu mendapatkan makna baru setiap membaca dan menelaah kembali karya-karya sastrawan angkatan 45 itu.

Pada tataran berbeda, karya-karya James Joyce yang tak pernah lekang dimakan zaman, seperti Dubliners, Ulysses dan Finnegans Wake, juga melahirkan makna-makna baru bagi penelaahnya.

Karya-karya semacam itulah yang akan menjadi objek kajian ilmiah para mahasiswa dan sarjana dari masa ke masa dan menjadikannya abadi.

Apakah Kiat Sukses Hancur Lebur sampai ke kualifikasi klasik sebuah karya? Waktulah yang menentukan, menjawabnya.

Oleh m Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017