Kompetisi politik putaran 2 dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 bisa diprediksi akan diwarnai oleh strategi yang cerdas, mencerahkan, dan tak lagi bermain di seputar isu primordial sektarian dalam menarik simpati para pemilih.

Sinyal ke arah itu antara lain disuarakan Basuki Tjahaja Purnama sebagai kandidat petahana, yang meminta pendukungnya untuk tak melakukan serangan terhadap pesaingnya, terutama di ranah media sosial.

Anies Baswedan, kandidat yang dikenal sebagai akademisi, secara tegas tak ingin mempersoalkan isu sektarian untuk mengalahkan pesaingnya.

Konstelasi politik, setelah pilkada memasuki putaran 2, menjadi berubah dan masing-masing kandidat berserta tim sukses masing-masing ditantang untuk memainkan strategi paling efektif dalam memenangkan kompetisi merebut kursi DKI 1.

Sebagian analis politik memprediksi bahwa suara yang diraih Agus Harimurti Yudhoyono di pilkada putaran 1 yang sekitar 17 persen akan diperebutkan oleh kedua kandidat untuk memenangkan putaran 2. Itu sebabnya pendekatan ke kubu Agus mutlak diperlukan untuk mendapatkan limpahan suara itu.

Yang menarik, yang cenderung dipilih Ahok untuk meraih kemenangan di putaran 2 bukanlah hendak bermanis-manis ke kubu Agus sebab dia percaya bahwa warga DKI Jakarta sudah tak bisa didikte oleh elite politik lagi sejak pascareformasi 1998.

Sang petahana akan memilih cara lugas, lebih banyak mengerjakan tugas-tugas kesehariannya sebagai gubernur hingga Oktober 2017 dan berharap pemilih akan menentukan pilihan mereka dalam pencoblosan putaran 2 berdasarkan hasil kinerjanya.

Sebagai pesaingnya, Anies tampaknya akan lebih banyak melakukan kritik terhadap petahana dalam penanganan sejumlah masalah yang secara klasik membelit warga ibu kota, terutama banjir dan kemacetan lalu lintas.

Saat hujan lebat berjam-jam mengguyur Jakarta dan sekitarnya dan membuat sejumlah titik kawasan banjir pekan ini, Anies menceburkan diri di kawasan yang terdampak banjir, menyapa warga sambil bertanya apakah gubernur dan wakilnya pernah menemui warga. Spontan jawaban negatif meluncur dari warga dan semua adegan itu disorot oleh kamera televisi dan menjadi berita hangat di layar kaca.

Ahok, dalam menangkis perkara banjir di DKI yang belum sepenuhnya tuntas, mengatakan bahwa dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, perkara banjir sekarang tidak lagi sampai membuat ratusan warga mengungsi. Dalam hitungan tiga atau empat jam, air sudah surut dan warga bisa kembali ke rumah masing-masing. Kini tak ada lagi tenda-tenda pengungsian dan dapur umum, seperti beberapa tahun silam.

Pada tataran personal kandidat gubernur yang kini bersaing, adu program sebagai kiat atau strategi cerdas dalam menarik simpati warga agaknya sudah tak menjadi persoalan dalam mempraktikkan demokrasi.

Namun apakah di ranah pendukung masing-masing kandidat di tataran massa juga akan mengikuti jagoan mereka masing-masing? Itulah teka-teki yang akan terjawab dalam dua bulan ke depan sampai pencoblosan dilangsungkan.

Bisa diprediksi bahwa suasana kampanye akan kian matang dalam parameter demokratik, sekalipun perang kata-kata kasar di media sosial tetap berlangsung karena tak mungkin sekian juta pemilik akun bisa ditertibkan untuk mengikuti seruan yang dikumandangkan kedua kandidat yang menghendaki kampanye simpatik.

Yang membuat mustahilnya menghentikan perang kata-kata bermuatan fitnah, kabar bohong atau kampanye hitam-negatif antara lain sifat media sosial yang memungkinkan netizen membuat akun dengan identitas palsu.

Dalam belantara dan labirin fitnah dan kabar bohong di kancah pilkada inilah, baik Ahok maupun Anies merasa bahwa kampanye yang menyerang, yang mendiskreditkan lawan hanya akan menjadi bumerang yang merugikan diri.

Itu sebabnya, ada kemungkinan bahwa para pendukung petahana maupun pendukung pesaingnya akan didorong untuk memviralkan kebaikan alias keunggulan masing-masing kandidat.

Kubu masing-masing kandidat perlu pamer kebaikan jagoan masing-masing. Tulisan-tulisan berupa kesaksian dalam bentuk human interest perlu didedahkan di berbagai platform medium informasi dan komunikasi untuk mengiklankan diri cagub DKI 2017-2022 masing-masing.

Bagaimana peran calon wakil gubernur? Mereka bukan menjadi target utama bagi pemilih namun tak ada buruknya menampilkan keunggulan mereka untuk melengkapi dan memperkuat daya tarik sang kandidat gubernur.

Dalam mengeksploitasi keunggulan sang kandidat, yang perlu disadari oleh masing-masing pendukung kandidat adalah bahwa promosi pencitraan yang berlebihan justru bisa mencederai sang kandidat.

Publik pemilih semakin terpelajar dan mereka tersentuh hanya oleh narasi yang manusiawi, natural bukannya uraian deskriptif tentang figur yang sempurna tanpa kelemahan.

Gejala munculnya kesaksian-kesaksian yang menyajikan serpihan-serpihan kisah positif kedua kandidat gubernur DKI itu sudah mulai mewarnai di media sosial. Namun, cerita-cerita negatif yang memojokkan pribadi kandidat karena rekam jejaknya juga masih bisa ditemui.

Yang pantas disyukuri, sebagai kandidat dari kubu mayoritas dalam konteks keberimanan, Anies secara tegas tak menenggang pendukungnya untuk memainkan isu suku, ras dan agama dalam berkampanye.

Dengan demikian, serangan terhadap keberimanan personal kandidat gubernur dari kubu minoritas dalam kancah suku, ras dan agama tak lagi gampang ditemukan di ranah maya maupun riil di putaran 2.

Itulah sebuah progres politik dalam pertarungan merebut kuasa di mandala gubernuran ibu kota. 

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017