Bogor (ANTARA News) - Panglima TNI Jenderal Jenderal Gatot Nuryantyo dalam kuliah umumnya di Kampus IPB, Bogor, Jawa Barat, Kamis, mengingatkan potensi konflik di masa datang berasal dari sektor pangan.

"Ketika energi fosil diganti energi hayati, maka tempat konflik akibat perebutan energi akan mengarah pada bagian dunia yang lokasinya merupakan sumber pangan sekaligus sumber energi," katanya.

Ia mengatakan, dasawarsa '90-an konflik di dunia terjad dan 70 persen dilatarbelakangi kepentingan akan sumber energi. Invasi Irak ke Kuwait pada Agustus 1990, jalan pintas memulihkan ekonomi Irak akibat turunnya harga minya di pasaran internasional.

Perebutan sumber minyak di Abyei, diperbatasan antara Sudan dan Sudan Selatan, merupakan akar konflik. Demikian pula di Nigeria, perebutan wilayah Delta Sungai Niger dikenal dengan kandungan minyak terbesar di negara di benua Afrika tersebut.

"Penduduk Nigeria menganggap pemerintah mismanajemen, misalnya terlalu memihak kepada perusahaan multinasional yang melakukan eksplorasi di sana," katanya.

Ia memaparkan, negara-negara yang memiliki sumber energi fosil (minyak, gas bumi dan batubara) menjadi tempat berkumpul kepentingan berbagai negara di dunia. Itu sangat wajar karena suatu negara wajib menjamin keselamatan warganya dan mengamankan ketersediaan energi yang dibutuhkan guna keberlangsungan hidup bangsanya.

Namun, lanjutnya, seiring kebutuhan energi bertambah karena jumlah penduduk dunia mencapai 7 miliar jiwa, produksi minyak dunia akan mencapai puncak dan menurun secara drastis.

"Fakta energi fosil tidak dapat diperbaharui, sejumlah ilmuan seluruh dunia menciptakan energi baru sebagai pengganti energi fosil. Dan salah satu energi baru yang dapat diciptakan adalah energi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau energi hayati," katanya.

Menurut Nurmantyo, kecenderungan peningkatan penggunaan bio energi pada 2007-2008 telah memicu krisis harga pangan dunia yang meningkat tajam mencapai 75 persen.

Salah satu penyebabnya pengalihan penggunaan bahan pangan menjadi energi hayati. Sebagai contoh di Venezuela, krisis pangan dan kekurangan obat-obatan terjadi sejak Juli 2016 memicu masalah sosial dan kriminalitas bagi negara tetangganya.

35.000 warga Venezuela menyeberang ke Kolumbia dalam waktu 12 jam untuk mendapatkan makan.

Nurmantyo yang terhitung sering memberi ceramah kepada mahasiswa itu mengatakan, Indonesia sebagai negara besar di garis ekuator menyimpan kekayaan hayati sumber daya alam yang melimpah sebagai sumber pangan.
 
Tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi sasaran invasi. Paling jelas adalah saat pengalaman Timor Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.

"Bahaya besar konflik ini mengingatkan kita tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia. Mari kita satukan langkah, bersatu padu, bergotong royong dan bersinergi menjaga keselamatan bangsa dan negara," kata dia. 

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017