Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana mengaktifkan kembali pungutan Penggantian Nilai Tegakan (PNT) sebagai upaya mendongkrak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hutan produksi.

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK IB Putera Parthama, di Kabupaten Bandung, Jabar, Sabtu menjelaskan salah satu penyebab PNBP menurun adalah lesunya bisnis pemanfaatan hasil hutan kayu sebagai dampak dari kondisi pasar yang terdistorsi.

Pada 2016, tambahnya, realisasi PNBP hasil hutan kayu sebesar Rp2,7 triliun, lebih rendah dari pemasukan pada 2015 yang mencapai Rp3,5 triliun, bahkan jumlah tersebut dibawah target yang ditetapkan oleh DPR.

"Harga kayu bulat yang rendah menyebabkan perusahaan enggan untuk meningkatkan produksinya. Mereka enggan untuk memanen pohon yang termasuk kelompok rimba campuran," katanya pada media gathering di Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Harga kayu bulat yang rendah diperberat dengan aksesibilitas menuju lokasi penebangan yang makin sulit sehingga biaya produksi makin tinggi.

Faktor lainnya, tambahnya, adalah tidak adanya lagi pungutan PNT kepada pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK), izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), Hak Guna Usaha, dan penyiapan lahan Hutan Tanaman Industri.

Putera menyatakan pungutan PNT sebagai sumber PNBP sejak Desember 2015 dihapuskan oleh Mahkamah Agung karena tidak memiliki payung hukum.

Oleh karena itu, lanjutnya, aktivasi PNT akan dipayungi melalui PP PNBP Kementerian LHK yang akan dibahas bersama Komisi X DPR.

Putera menjelaskan perluasan sumber PNBP dikarenakan di kawasan hutan produksi kini berkembang pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan seperti untuk silvopastura (ternak), silvofishery (budi daya ikan), dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan pola agroforestry.

"Dulu ini tidak dilirik karena nilainya dianggap kecil Tapi kalau kecil-kecil dikumpulkan, nilainya miliran juga," katanya.

Dia mengungkapkan untuk tahap awal pihaknya mulai mengenakan PNBP hasil hutan nonkayu pada BUMN kehutanan Perum Perhutani, perusahaan yang menguasai hutan Jawa dan menjadi induk Inhutani I-V itu memproduksi banyak hasil hutan nonkayu seperti jagung, madu, dan gondorukem terutama bekerja sama dengan masyarakat.

Sementara itu, Direktur Perum Perhutani Muhammad Subagja menyatakan pihaknya memahami rencana untuk mengenakan pungutan terhadap hasil hutan nonkayu. Untuk itu pihaknya akan melakukan sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat pesanggem (penggarap lahan kehutanan) yang memanfaatkan lahan hutan di bawah tegakan untuk memproduksi berbagai hasil hutan nonkayu.

"Tentu kami sosialisasikan dulu dengan masyarakat yang selama ini melakukan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di lahan Perhutani," katanya.

Menurut dia, tak ada persoalan untuk pengenaan pungutan PNBP untuk produk nonkayu yang dihasilkan langsung oleh Perhutani atau mitra swasta, namun untuk produk nonkayu yang dihasilkan oleh rakyat di lahan Perhutani, tentu ada proses tak mudah yang harus dijalani.

Perhutani berharap pemerintah membebaskan pengenaan PNBP untuk produk yang dihasilkan rakyat.

Subagja mengungkapkan ada areal Perhutani seluas 198.000 hektare yang dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya kopi, 191.000 hektare lainnya untuk memproduksi padi, jagung, dan kedele dengan pola tumpang sari.

Menurut dia, untuk membebaskan petani pesanggem Perhutani dari pengenaan PNBP, pihaknya akan melakukan komunikasi dengan Kementerian LHK serta Kementerian BUMN yang merupakan kementerian pembina.

Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017