Jakarta (ANTARA News) - Tak perlu waktu lama untuk membangkitkan suhu pertemuan para perwakilan parlemen dan lembaga swadaya masyarakat atau nonpemerintah dari 80 negara pada KTT Internasional Untuk Mendukung Intifada Palestina pada 21-22 Februari 2017 di ibu kota Iran, Teheran.

Emosi dan semangat para peserta konferensi yang ke-enam kali tersebut segera tersulut dengan pidato pembukaan yang disampaikan oleh Pemimpin Besar Iran, Ayatollah Ali Khamenei yang mempertanyakan seluruh diplomasi dan perundingan damai yang sudah puluhan tahun diupayakan untuk menghentikan penjajahan Zionis Israel atas Palestina namun belum juga berhasil.

Pidato Khamenei tak pelak menjadi pemantik pernyataan para pemimpin delegasi yang berbicara pada hari pertama kegiatan tersebut.

Ketua Parlemen Lebanon, Nabih Beri menegaskan bahwa solusi dua negara, atau "two-state solution" adalah dusta Israel karena kenyataannya hingga saat ini Israel terus merampas tanah sah milik rakyat Palestina sampai hanya tersisa Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Bahkan, di atas tanah yang menjadi tapal batas wilayah Palestina menurut ketetapan 1967, yakni Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, Zionis Israel tak berhenti membangun permukiman ilegal.

Permukiman ilegal itu terus merangsek tanah rakyat Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur dan tindakan tak beradab para penjajah itu telah dilegalisasi oleh Parlemen Israel.

Menurut anggota DPR RI, Mahfudz Siddhiq yang hadir dalam konferensi di Teheran, belum lama ini, Dewan Nasional Palestina telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi mengenai UU Legalisasi Pembangunan Permukiman Israel di tanah pendudukan Palestina.

Permintaan ini adalah reaksi terhadap keputusan Parlemen Israel, Knesset, yang pada 6 Februari 2017 mengesahkan UU untuk melegalisasi pembangunan 4,000 rumah baru di atas tanah milik warga Palestina di Tepi Barat.

Keputusan yang memicu kemarahan warga Palestina ini menjadi jalan bagi penjajah Israel untuk meneruskan agenda pendudukan wilayah dan pembangunan permukiman warga Israel di tanah suci miliki Umat Islam itu.

Penentangan atas permukiman ilegal tersebut tidak hanya muncul dari warga Palestina. Sebagian anggota Knesset dan warga Yahudi juga menolak keputusan tersebut.

Lebih lanjut Mahfduz memaparkan bahwa sampai saat ini jumlah pemukim baru warga Israel di daerah pendudukan Palestina hampir mencapai satu juta orang yang terkonsentrasi di wilayah Tepi Barat dan Yerussalem Timur.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Israel, pada Januari 2015 sekitar 390 ribu warga Israel menganeksasi tanah di Tepi Barat dan sekitar 375 ribu lainnya menduduki dengan paksa wilayah di Yerusalem Timur.

Mereka tinggal di perumahan baru yang dikelilingi tembok pengaman yang tinggi serta pos pengamanan yang ketat.

Menurut organisasi yang mengatur permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, Yesha Council, hingga Juni 2014 warga Israel telah menempati 121 permukiman baru di wilayah Tepi Barat yang oleh PBB ditetapkan sebagai wilayah otoritas Palestina.

"Saat ini wilayah Palestina yang tidak dikuasai oleh zionis Israel tinggal 10 persen di Tepi Barat dan Gaza. Karena pendudukan dan pemukiman baru terus dibangun oleh pemerintah Israel dengan tidak mengindahkan semua reaksi dunia, termasuk resolusi PBB dan Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Warga Sipil Pada Saat Perang," tegas Mahhfudz.

Intifada (perjuangan)
Di tengah himpitan Israel yang terus melancarkan serangan bersenjata dan tekanan politik dan ekonomi, kehidupan rakyat Palestina terus berdenyut, termasuk melakukan perlawanan yang oleh dunia dikenal dengan Intifada.

Gerakan Intifada pertama pecah pada Desember 1987 menyusul sebuah kendaraan Israel yang menabrak para pekerja Palestina sehingga menewaskan empat orang.

Sejak peristiwa itu, penjajah Israel semakin "berani" mengangkangi perjanjian dan kesepakatan damai, walau hal tersebut ditetapkan oleh PBB dan disetujui oleh sebagian besar negara-negara kuat seperti Amerika Serikat.

Secara terang-terangan Israel terus mengkhianati seluruh hasil perundingan dengan Palestina sembari memerangi warga sipil Palestina yang tidak bersenjata, termasuk anak-anak, dengan kekuatan militer.

Data resmi Kementerian Informasi di Ramallah mengungkapkan bahwa 1.518 anak-anak Palestina tewas oleh pasukan penjajah Israel sejak pecahnya Intifada ke dua pada September 2000 hingga April 2013.

Kementerian itu menambahkan bahwa jumlah anak yang terluka oleh penyerangan Israel sejak awal Intifada hingga 2013 mencapai 6.000 anak.

Kuatnya protes dan kritik terhadap gagasan solusi dua negara juga disuarakan oleh pihak Palestina di konferensi internasional itu.

Pada konferensi di Teheran, Ketua Parlemen Palestina, Salim Janun menegaskan perlunya perlawanan berlanjut terhadap Zionis Israel sebagai jalan untuk mendapatkan kembali hak-hak bangsa Palestina.

Pernyataan ini dikuatkan oleh Syech Naim Kasim, tokoh pimpinan Hizbollah, yang menyerukan perlawanan bersenjata terhadap Israel dan ini diamini antara lain oleh wakil dari faksi Hamas dan Jihad Islam.

Menurut Mahhfudz Siddhiq, kritik keras terhadap solusi dua negara muncul akibat keputusasaan akan upaya perundingan damai dan diplomasi politik yang selalu buntu, bahkan selalu merugikan Palestina.

"Sangat nyata proses perundingan hanya menguntungkan Zionis Israel. Penguasaan mereka atas tanah palestina tidak pernah berhenti. Sementara posisi bangsa Palestina makin terjepit. Jadi wajar jika hari ini muncul ketidakpercayaan terhadap solusi dua negara," ungkap Mahfudz.

Menurut dia, konferensi untuk mendukung Intifada Palestina tampaknya mendorong perlawanan berlanjut bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel.

Palestina meminta dukungan kekuatan dari berbagai negara seluruh dunia, khususnya negeri-negeri Muslim, untuk melanjutkan perlawanan politik dan perlawanan bersenjata terhadap Zionis Yahudi di tanah suci Palestina.

Meskipun konflik bersenjata dan pendudukan wilayah Palestina oleh Zionis Israel tidak bisa diselesaikan dengan konferensi, setidaknya kegiatan ini menjadi sarana bagi semua negara peserta untuk menyamakan dan menyatukan sikap penentangan terhadap kolonialisasi berlanjut di tanah Palestina. 

Oleh Bambang Purwanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017