Jakarta (ANTARA News) -  Eksplorasi sumber daya alam di Indonesia dimulai pada abad XVI melalui Ekspedisi Jacob Bontius dan Rhumpius. Pada 1817, C. G. L. Reinwardt mulai membangun Kebun Raya Bogor, dilanjutkan dengan pembangunan Foreigner Laboratorium oleh M Treub pada 1884 di dalamnya.

Laboratorium ini berfungsi untuk menampung para peneliti yang tertarik mempelajari keanekaragaman hayati tropika. Penelitian kehati berlanjut di era kemerdekaan dan fokus pada penelitian taksonomi melalui eksplorasi, dengan melakukan studi morfologi atau alpha taxonomy.

Koleksi ilmiah flora dan fauna terus bertambah hingga menjadikan Herbarium Bogoriense menjadi top 3 dunia dan Museum Zoologicum Bogorience masuk 10 besar dunia.

Saat ini, menurut peneliti senior mikrobiologi LIPI Endang Sukara, perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia baru melangkah masuk pada pertelaan tentang DNA melalui Sequencing untuk membaca manfaat kehati dengan amat sangat cepat. 

"LIPI ada MALDI-TOF (Matrix-assisted laser desorption ionization time-of-flight), artinya sudah bisa baca DNA meski masih terhitung lambat karena setengah hari baru bisa mengetahui genom".

Negara lain sudah pakai "ion torrent sequencing" dengan sekejab sudah bisa mengetahui potensi satu tumbuhan, sehingga mereka kini sudah mulai beralih ke tahap menulis gen atau melakukan gen editing melalui pendekatan transdisiplin atau metadisiplin, ujar Endang.

"Dengan demikian DNA sudah bisa disintetiskan sekarang. Istilahnya tinggal beli bahan A, B, C, D yang merupakan komponen DNA maka dia sudah bisa mensistetiskannya".

Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Sadjuga mengatakan biologi sintetis secara sederhana artinya mencampurkan komponen-komponen kimia dalam tabung reaksi sehingga menghasilkan sel hidup sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan dengan karakter tertentu.

Misalkan dalam cerita fiksi ilmiah orang yang sudah mampu membaca DNA lalu ingin menciptakan seorang jurnalis yang memang pada dasarnya memiliki gen pintar menulis namun ingin ditambahkan gen yang membuatnya kuat dan berani di medan perang, maka "disisipkan" gen yang dikehendaki tersebut, kata Sadjuga.

"Tapikan itu adanya masih di fiksi ilmiah. Sekarang ini perkembangannya di dunia baru pada mikrobiologi, di jasad-jasad renik, keinginannya bisa membuat mahluk hidup baru dari awal misalkan bakteri yang belum ada sama sekali ingin dibuat sesuai kebutuhan manusia," ujarnya.

Sekarang kalau ada bakteri yang menyerap sinar matahari lalu menghasilkan gula sebenarnya pada proses fotosintesisnya muncul aliran listrik di mana terjadi perpindahan elektron ke karbon dioksida (CO2). Dengan ilmu biologi sintetis ini apakah bisa diciptakan bakteri yang memang hanya menghasilkan elektron saja sehingga hanya listriknya yang dimanfaatkan?

"Ada mahluk hidup dikasih sinar lalu keluarnya listrik. Itu arah pengembangan ilmu pengetahuannya, ibaratnya kita bermain-main sebagai Tuhan, menciptakan makhluk hidup tapi sesuai desain kita," ujar Sadjuga.

Akhirnya dunia masuk ke era "synthetic gen" dan "synthetic biology", dan Indonesia di sini amat sangat tertinggal, ujar Endang. Hanya perlu rumus bangunnya, dengan kemampuan digital, sains kompeten, data base genetik sudah bisa melakukan sintetis DNA.

Perlindungan kehati
Terkait dengan rumus bangun DNA kehati, Endang mengatakan belum ada aturan main yang jelas sehingga masih ada juga yang ragu mengembangkannya.

Namun demikian, sudah ada 22 multinasional industri di dunia yang masuk ke pasar biologi sintetis ini, salah satu cerita suksesnya adalah pengembangan pemanis dari hasil biologi sintetis Stevia yang lebih manis 300 kali dari gula biasa dan tidak menambah berat badan.

"Ada yang masih fatamorgana, masih butuh perjuangan, tapi tidak lebih dari lima tahun rasanya akan keluar banyak sekali produk hasil biologi sintetis misalnya ginseng atau jahe. Yang akan terkena dampaknya petani, seperti petani-petani Stevia di Uruguay, dan perlindungannya seperti apa belum ada," ujar dia.

Indonesia yang begitu kaya kehati dan belum bisa mengungkap seluruh manfaatnya tentu harus bisa melindungi apa yang dimiliki tersebut. Maka Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati harus benar-benar menjadi rujukan, ujar ahli mikrobiologi ini.

Endang menyayangkan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020 hanya berupa buku besar yang dikeluarkan Bappenas, tidak masuk UU agar bisa dijalankan seluruh anak bangsa.

Ia juga menegaskan bahwa ini saat yang tepat untuk menyempurnakan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Akses dan pembagian keuntungan sumber daya genetik sebagai komponen penting dalam UU tersebut harus ada.

Selain itu, ia mengatakan Pemerintah harus segera memutuskan "national focal point" untuk akses dan "benefit sharing", otoritas nasional yang kompeten, "clearing house" untuk akses dan "benefit sharing", serta checkpoints.

Sementara itu, peneliti senior Pusat Penelitian Biologi LIPI Rosichon Ubaidillah mengatakan UU 5 Tahun 1990 perlu direvisi karena dinilai belum mampu melindungi kehati di terestrial, air tawar, dan laut.

Selain itu, belum selaras atau tumpang tindih dengan peraturan dan perundangan lain serta dengan konvensi internasional baik itu Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convension on Biodiversity/CBD), Protokol Nagoya, Protokol Kartagena, CITES, Global Strategy for Plant Conservation dan International Treaty on Plant Genetic Resources.

Rosichon juga mengatakan paradigma konservasi sangat Antropocentris dan kurang memperhatikan aspek pemanfaatan selaras, serasi, seimbang dan berkeadilan (ecocentris). Selain itu, UU 5 Tahun 1990 sekarang masih terlalu teknis bernuansa sektor tidak membahas kehati secara utuh yang seharusnya mencakup genetik, spesies dan ekosistem.

Seknas Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Andri Santosa mengatakan kasus soal konservasi, khususnya pengelolaan satwa liar ini makin meningkat, diperlukan perangkat hukum yang tegas, demi adanya efek jera. "Ini urgen untuk segera mengesahkan Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990, agar tidak mengulang kasus yang sama".

Lebih lanjut, ia mengatakan revisi UU terkait konservasi ini masih obyek menjadi tarik-menarik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan terutama terkait taman nasional. Seharusnya egosektoral hilang untuk menyelamatkan kehati, sebelum akhirnya semua terlanjur hilang.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), menurut dia, juga perlu dilibatkan terkait dengan pencegahan pembajakan kehati atau sumber daya genetik (biopirac) oleh pihak-pihak asing. Selama ini belum dilibatkan dalam pembahasan revisi UU Konservasi".

Terkait sanksi, ia mengatakan perlu dipikirkan cara untuk memberikan efek jera, termasuk sanksi sosial untuk mereka yang melakukan biopiracy.

Perlindungan kehati melalui konservasi kini juga sudah harus melibatkan masyarakat, di mana kearifan lokal juga harus dihormati, sehingga konflik tenurial dalam pelaksanaan konservasi tidak terjadi. Ini yang menurut Andri harus juga ada dalam revisi UU tentang Konservasi yang kini masuk Prolegnas.

Pewarta: Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017