Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa atase imigrasi pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo, sebagai tersangka terkait tindak pidana korupsi suap dalam pengurusan paspor dengan metode "reach out" dan "calling visa".

"Kami akan lebih mendalami peran tersangka dalam pengurusan paspor dengan metode reach out dan calling visa sebagaimana disangkakan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

Febri mengatakan pada Senin ini, Dwi Widoso diperiksa sebagai tersangka untuk kedua kalinya.

"Yang bersangkutan hadir pada pemeriksaan hari ini. Pemerikaaan pertama kita lakukan 7 Februari 2017 lalu, di hari yg sama ketika KPK mengumumkan status penyidikan perkara tersebut," ucap Febri.

Dwi Widodo ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out tahun 2016 dan proses penerbitan calling visa tahun 2013-2016.

"Berdasarkan pengembangan penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi suap terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out tahun 2016 dan proses penerbitan calling visa tahun 2013-2016," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (7/2).

KPK menetapkan Atase Imigrasi pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo sebagai tersangka kasus tersebut.

"DW selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang menjabat atase imigrasi pada Kedubes RI di Kuala Lumpur yang diduga menerima suap Rp1 miliar dalam penerbitan paspor dengan metode reach out dan penerbitan calling visa," tambah Febri.

Dwi disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

"Modus yang dilakukan tersangka adalah meminta pihak agen perusahaan atau makelar untuk memberikan sejumlah uang atas pembuatan paspor bagi Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia yang hilang atau rusak yang diterbitkan melalui metode reach out dan melakukan pungutan yang melebihi tarif resmi terkait penerbitan calling visa," ungkap Febri.

Dwi juga diduga meminta kepada pihak agen yang menjadi kuasa atau penjamin warga negara asing (WNA) untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadinya sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya.

Menurut Febri, pungutan liar (pungli) berupa pembuatan paspor yang hilang atau rusak bagi WNI di Malaysia itu memiliki dua cara yaitu pertama melalui mekanisme biasa dimana pemohon paspor datang langsung ke KBRI pada hari dan jam kerja, atau kedua melalui mekanisme "reach out" yaitu pihak imigrasi KBRI yang mendatangi pemohon di lokasi yang berada di luar KBRI. "Reach Out" ini dilakukan di luar hari dan jam kerja.

"Terkait permohonan penerbitan calling visa yang membuat persetujuan bagi WNA untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia. Dalam penerbitan visa ada beberapa negara yang termasuk kategori rawan antara lain Afghanistan, Nigeria, Niger, Kamerun, Pakistan dan Somalia sehingga WNA dari negara-negara tersebut harus mengajukan calling visa untuk bisa masuk ke Indonesia," jelas Febri.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017