Tantangannya adalah menyajikan data yang lebih akurat."
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan pelaku usaha berperan penting dalam mencapai target penurunan emisi mencapai 29 persen pada 2030, seperti tertuang dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (NDC) dalam Persetujuan Paris.

"Sebagai salah satu pemangku kepentingan, peran dunia usaha diakui dalam mitigasi perubahan iklim," kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin di Jakarta, Rabu.

Dalam diskusi implementasi Undang Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim itu, ia mengemukakan bahwa dukungan pelaku usaha kehutanan, seperti juga pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat adat sangat diperlukan dalam mencapai target pengurangan emisi karbon.

Sektor kehutanan berkontribusi hingga 17,2 persen atau yang terbesar dalam pencapaian target NDC. Sektor lain yang berkontribusi adalah energi (11 persen), pengelolaan limbah dan sampah (0,38 persen), pertanian (0,32 persen), dan sisanya (0,1 persen).

Selain itu, ia menyatakan, komitmen pengurangan emisi Indonesia dapat meningkat hingga 41 persen bila memperoleh dukungan internasional.

Menurut Masripatin, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dapat berkontribusi melalui kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari sebagai bisnis intinya.

Caranya, menurut dia, dengan mengimplementasikan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD+).

Pihaknya juga mengajak pelaku usaha kehutanan untuk terlibat dalam Gerakan Nasional Program Kampung Iklim (Proklim) guna membumikan isu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak dari desa hingga perkotaan.

Masripatin juga berharap agar aksi yang dilakukan bisa di daftarkan dalam Sistem Registri Nasional agar capaiannya bisa tercatat.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK IB Putera Parthama mengungkapkan, contoh kontribusi nyata IUPHHK dalam pengurangan emisi adalah dengan penerapan konsep Penebangan Rendah Dampak (Reduce Impact Logging-Carbon/RIL-C).

"Jika emisi business as ussual, maka pelepasan emisi mencapai 51 ton setara karbon, dengan RIL-C bisa berkurang hingga 40 persen," katanya.

RIL-C akan memperketat kegiatan pembalakankayu secara liar sehingga meminimalkan dan mencegah kerusakan tanah maupun tegakan pohon yang tertinggal, ujarnya.

Ia mengemukakan bahwa perencanaan pembalakan menjadi salah satu kunci, bahkan titik rebah pohon yang dipanen pun direncanakan rinci untuk menghindari kerusakan anakan pohon. Termasuk yang direncanakan mendetil adalah proses penyaradan log. Penerapan RIL-C mampu mengurangi kerusakan hutan hingga 50 persen.

"Kami akan siapkan ketentuan agar semua IUPHHK menerapkan RIL-C," kata Putera.

Ia juga menyatakan, ada sejumlah perusahan IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menyatakan janjinya untuk tidak lagi ada deforestasi dalam proses bisnisnya.

Meski belum bisa dicatat sebagai kontribusi pengurangan emisi, ia mengungkapkan, implementasi janji tersebut ikut mendukung mitigasi perubahan iklim.

Putera menyatakan untuk meminimalkan praktik pembersihan lahan (land clearing) yang bisa meningkatkan emisi gas rumah kaca, Kementerian LHK mengarahkan permohonan HTI pada kawasan hutan yang terdegradasi.

Selain itu, KLHK juga akan mengeluarkan peraturan tentang multisistem silvikultur, sehingga kawasan hutan yang memiliki vegetasi lebat tak perlu di lakukan pembersihan lahan.

"Kami juga baru mengeluarkan peraturan mengenai pengelolaan gambut yang diharapkan bisa memperkuat upaya mencegah terlepasnya emisi gas rumah kaca," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, menyatakan pengelolaan HTI memang selayaknya patut diperhitungkan sebagai kontribusi pengurangan emisi.

"Tantangannya adalah menyajikan data yang lebih akurat," katanya.

Dia mengemukakan bahwa kegiatan restorasi ekosistem dan silvikultur intensif juga berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.

Namun demikian, ia menambahkan, perlu insentif agar kegiatan-kegiatan yang berdampak pada mitigasi perubahan iklim bisa dipraktikan lebih luas mengingat tingginya investasi yang diperlukan.

Pewarta: Subagyo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017