Jakarta (ANTARA News) - Rileks dan santai itu tidak rumit dan tidak ada bahayanya.

Itulah proses olah rasa atau manajemen perasaaan. Setiap orang bisa, jika mau. Asyik dan sekaligus membahagiakan.

Ini bukan ritual agama. Bukan mistik, bukan pula klenik, tanpa mantra atau doa tertentu yang bahasanya sulit dimengerti dan sering dianggap "syirik" itu. Tentu, mengawali dengan doa sesuai ajaran agama atau keyakinan yang sudah dipahami maksudnya dipersilahkan.

Olah rasa itu tanpa bahaya apa pun secara fisik dan kejiwaan. Bahkan, sebaliknya: menyehatkan. Ini mata rantai dari kegiatan empat olah, yakni olah raga, olah pikir/cipta, olah rasa, dan olah hati/jiwa.

Khusus untuk penganut agama tertentu, olah rasa bisa membantu yang bersangkutan lebih mudah memahami ajaran agamanya dan lebih khusyuk dalam beribadah.

Bisa dilakukan setiap saat, lebih baik lagi dalam waktu yang senggang. Tidak harus berpakaian tertentu. Yang penting bersih, dipakai enak, terasa nyaman. Bisa di sembarang tempat.

Lebih bagus kalau tempat itu bersih, sejuk, tidak beraroma busuk, apalagi berbau wangi, bernuansa indah dan tidak bising. Bagi pemula, lebih baik jika ia bisa sendirian.

Olah rasa dapat disamakan atau bisa dikaitkan dengan apa yang selama ini dikenal sebagai introspeksi, refleksi, mawas diri (MD), bedah diri (BD), kontemplasi, dan toleransi atau "tepo seliro".

Ada beberapa syarat yang gampang dipenuhi oleh setiap orang, dan ini bersifat pribadi, orang lain tidak perlu tahu. Di antaranya keberanian untuk "tersenyum dan tertawa" serta kecermatan dalam pengamatan perilaku sendiri dan ketekunan.


Bercermin sendirian

Setiap orang tentu pernah mengalami kesal, kecewa, susah, dan marah karena apa yang diinginkan tidak tercapai. Misalnya, seseorang ditolak lamarannya untuk menikahi pasangan yang diidamkan. Bisa juga gagal dalam tes untuk suatu pekerjaan, merugi dalam bisnis atau kalah dengan pesaing dan terkena musibah.

Mari kita dengan santai menelisik asal muasal atau sumber rasa kesal itu dalam diri sendiri. Misalnya, ditolak dalam melamar seseorang. Segera ambil cermin, mengaca diri di tempat sepi atau kamar sendiri (bisa juga di toilet).

Kita telisik tampilan fisik diri sendiri: wajah, warna kulit, ukuran bodi (tinggi, pendek, gemuk, kurus), ganteng, cantik, mungil, langsing, tinggi semampai). Kita sandingkan dan bandingkan diri sendiri dengan yang kita taksir dan pesaing.

Setelah itu, kita menilai penampilan kita: gagah, elegan, anggun, percaya diri atau sebaliknya peragu, kurang atau tidak PD (percaya diri). Gaya ini sering dipengaruhi oleh isi kepala dan isi kantong.

Isi kantong (kekayaan) lebih sering dilihat orang daripada isi kepala (kepandaian), walau orang tahu kepandaian sering dapat membawa kekayaan.

Setelah itu, kita nilai prestasi atau nama baik kita sendiri. Ini tidak melulu karena kepandaian, apalagi gelar akademis semata, tapi juga karena kekayaan dan perilaku atau tabiat. Sayang zaman sekarang, yang pertama dilihat banyak orang bukan perilaku atau tabiat, apalagi kalau itu masih berupa niat baik atau potensi di dalam hati.

Secara umum, kini yang berlaku adalah rumusan: "ada rupa, ada harta, ada gaya". Bahkan yang lebih sering terjadi: "ada harta, ada gaya". Ini persis dalam bisnis: ada rupa (barang) ada harga (uang). Belum lagi soal pelayanan.

Maka, dalam persaingan bisnis, pengusaha harus pegang teguh motto: "better in quality, better in price and better in service". (lebih baik dalam kualitas, harga dan pelayanan). Kualitas meliputi performa dan daya tahan (endurance). Dalam kegiatan lamar-melamar pasangan hidup, mungkin, ada bedanya, walau hanya sedikit.

Proses menyandingkan, memandingkan dan membandingkan dengan pihak lain, terutama pesaing, ini dalam khasanah budaya Jawa disebut

"ngukur sarira" (mengukur diri) dan "nandhing sarira" (mempertandingkan diri) dengan orang lain.

Bercermin bisa dilakukan juga di depan kaca atau di depan orang lain, terutama orang tua, pasangan hidup dan anggota keluarga terdekat. Yang penting, rahasia pribadi terjamin tidak bocor. Misalnya, dengan bertanya tentang bau mulut atau bau keringat/badan.

Setelah itu, pertanyaan bisa dilanjutkan tentang tampilan perilaku sehari-hari, misalnya cara atau gaya bicara, tersenyum, tertawa, kesal dan marah seperti apa menurut orang-orang kepercayaan terdekat.

Jika jawaban yang diperoleh menimbulkan rasa kesal, kecewa dan marah, buru-buru masuk kamar sendirian, langsung bercermin. Lihat wajah sendiri waktu sedang kesal, kecewa, cemberut dan marah.


Tersenyum dan tertawa

Suasana rasa paling enak untuk memulai olah rasa atau MD adalah pada saat seseorang sedang dalam keadaan kekosongan "karep" (hasrat/kemauan). Di saat ini berlangsung awal proses kreatif jiwa yang dikenal dengan ungkapan "osik gumregah" (terusik bangkit), yakni bangkitnya kesadaran dari dalam untuk mengungkapkan diri pada diri sendiri.

Di sini diperlukan keberanian untuk mengalahkan rasa takut atau "wegah" (malas) untuk menyaksikan kelemahan, kekurangan atau cacat pribadi. Ini awal yang bagus untuk psikoterapi, kata Darmanto Jatman, budayawan dan psikolog seperti dikutip buku "Kawruh Bejo Ki Ageng Suryomentaram".

Mengapa harus takut?Kan bercermin sendirian atau paling-paling di lingkungan orang-orang terdekat? Jangan kecut, takut itu manusiawi. Wajar saja. Setiap orang punya rasa takut, termasuk untuk melihat belang bonteng, bopeng fisik dan perilaku sendiri.

Untuk itu ada terapi tersenyum dan tertawa ala Jawa dalam bentuk lagu dengan iringan gamelan yang berjudul "Ayo Ngguyu" (Mari Tertawa).

Orang bijak pernah bilang: "Berani dan bisa mentertawai kekonyolan (dan kebodohan) diri sendiri itu pertanda kedewasaan". Bisa tersenyum dan tertawa itu pertanda rasa bahagia, yang bisa membantu proses penyembuhan sakit fisik dan sakit perasaan. Oleh karena itu, ada ungkapan: "Tertawa itu sehat".

Apakah olah rasa hanya perlu dilakukan untuk mengurai asal muasal rasa susah. Oh, tidak. Waktu orang sedang senang pun, olah rasa tetap perlu. Hasil yang diharapkan: rasa syukur. Dan ingat, ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram: "Hidup itu sebentar senang, sebentar susah". Bergantian, begitu seterusnya.

*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

(A015/A011)

Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017