Jakarta (ANTARA News) - Dianggap berperan dalam pembunuhan kakak tirinya dan serangkaian uji coba peluru kendalinya yang kian agresif, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un sedang menguji kesabaran tidak hanya Amerika Serikat, namun juga sekutu terdekatnya, China.

Dia sedang memainkan perjudian tingkat tinggi yang bisa mendorong seisi kawasan terperosok ke jurang konflik yang paling buruk.

Apa yang sedang dilakukan Kim Jong-un saat ini didasari oleh logika bengis bahwa dia tahu pasti tidak ada satu pun yang memiliki strategi utuh untuk menghentikan dia.

Selasa pekan ini, Kementerian Luar Negeri China memperingatkan Washington dan Pyongyang bahwa mereka tengah berpacu ke arah konfrontasi berbahaya yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Beijing menyeru Korea Utara menggubris kecaman internasional terhadap uji coba nuklir dan peluru kendali yang dilakukannya.

Masalahnya, Kim Jong-un kecil kemungkinan bersedia mendengarkan atau menuruti nasihat, bahkan ancaman, Amerika Serikat, China atau siapa saja. Karena yang diinginkan pemimpin Korea Utara ini sederhanaa, yakni memastikan kelangsungan dia dan rezimnya.

Itu artinya dengan memusnahkan siapa pun yang berpotensi menggantikan perannya dan dengan memanfaatkan senjata nuklir, maka sudah cukup bagi Kim Jong-un untuk mencegah kekuatan luar mana pun yang berusaha menjatuhkan kekuasaannya.

Lain dari itu, kemampuan negara ini dalam menyerang musuh di luar Korea Utara sama artinya dengan menguatkan pengaruh dan kekuasaan Kim Jong-un di dalam negeri.

Ketika ayahandanya tutup usia pada Desember 2011, dan kekuasaan negara itu beralih kepadanya, banyak orang yang mempertanyakan dia yang masih muda itu bisa mengendalikan kaum tua elite berkuasa yang lebih mapan ketimbang dirinya.

Tetapi faktanya mengerikan. Mengutip sebuah lembaga think tank Korea Selatan Desember tahun lalu, sudah lebih dari 300 orang dieksekusi mati sejak Kim Jong-un berkuasa. Angka ini termasuk 140 pejabat senior dan seorang pamannya.

Kemudian, setelah kakak tirinya, Kim Jong-nam, dibunuh di Bandara Internasional Kuala Lumpur pada 13 Februari, Kim Jong-un semakin kuat mencengkeram kekuasaan.

Kakak tirinya itu sebenarnya tak pernah dia anggap ancaman, namun jika Kim Jong-un memang berperan dalam pembunuhan tersebut, maka hal itu menunjukkan dia memiliki jangkauan maha luas untuk melakukan apa saja yang dimauinya. Ini jelas menjadi peringatan untuk kelompok kemapanan di negerinya untuk jangan coba-coba mengusik dia.

China pun dibuat frustasi

Bantuan keuangan dan militer China sudah lama dianggap vital bagi kelangsungan rezim Korea Utara di mana Beijing terus membina hubungan dekat baik dengan ayahanda Kim maupun para pejabat puncak lainnya.

Kim Jong-nam si kakak hidup bertahun-tahun di China. Dia diduga dilindungi oleh dinas intelijen China sebagai bagian dari koneksi dengan paman mereka, Jang Song Thaek, yang merupakan power-broker paling penting di Korea Utara sebelum dibunuh Kim Jong-un begitu dia berkuasa.

Lima hari setelah pembunuhan Kim Jong-nam dan enam hari setelah Pyongyang menguji peluru kendali balistiknya yang melanggar sanksi internasional, Beijing mengumumkan penangguhan pembelian batu bara dari Korea Utara sehingga secara efektif memangkas salah satu sumber terpenting keuangan Pyongyang.

Langkah China ini juga dianggap sebagai cermin frustasi Beijing terhadap ulah tetangganya itu belakangan ini.

Uji coba empat peluru kendali balistik Senin pekan ini yang terjadi hanya beberapa hari sebelum partai komunis China menggelar kongres tahunannya, telah membuat China kian uring-uringan.

Lalu tindakan Korea Utara pekan ini semakin menunjukkan Kim Jong-un tidak mau  tunduk kepada kekuatan luar mana pun, termasuk China.

Pedang bermata dua untuk China

Itu juga menjadi peringatan bagi AS bahwa setiap upaya membuat frustasi program persenjataan Korea Utara tidak akan pernah berhasil.

New York Times melaporkan bahwa AS sendiri merasa tidak selalu berhasil dalam mengintervensi program nuklir Korea Utara.

Beberapa roket Pyongyang gagal meluncur dengan sebab yang tak terjelaskan. Fakta ini membuat para pakar Amerika Serikat tak bisa mendapatkan data apa-apa mengenai sistem misil Korea Utara, bahkan dari peluncuran peluru kendali yang berhasil. Sebaliknya, Korea Utara semakin maju mengembangkan sistem persenjataannya.

AS menjadi tak sabar.  Dan menurut The Times, para pejabat AS tengah mempertimbangkan serangkaian taktik baru, termasuk serangan militer langsung ke fasilitas-fasilitas militer Korea Utara atau apa yang mereka sebut aksi left of launch (pencegatan) untuk membinasakan misil-misil Korea Utara sebelum bisa diluncurkan.

Belum jelas benar apakah taktik-taktik semacam itu akan efektif.

Tapi fakta menunjukkan Pyongyang dan para ilmuwan Rusia yang disewanya semata berusaha meniru teknologi yang digunakan Amerika Serikat, Rusia dan China pada 1950-an atau sesudahnya.  Kenyataan ini membuat serangan siber apa pun tidak akan efektif menaklukkan program nuklir Korea Utara.

Pemerintahan AS yang gonta ganti sejak lama mengharapkan China bisa membujuk Korea Utara untuk melambankan kemajuan nuklir negara itu, sembari berharap negara itu membuka diri kepada dunia.

Sebaliknya, para pejabat China sudah berulang kali menjamin Washington dan juga kekuatan-kekuatan kawasan lain, khususnya Jepang dan Korea Selatan, bahwa mereka bisa mengendalikan Pyongyang.

Tetapi pada era kepemimpinan Kim Jong-un, jaminan itu menjadi kurang meyakinkan.

Kim Jong-un tampaknya memang memburu program nuklir Korea Utara yang kredibel, namun jika ini yang terjadi maka China menghadapi pedang bermata.

Semakin maju Pyongyang mengembangkan sistem persenjataannya, maka semakin banyak negara-negara di kawasan ini yang menuntut kehadiran baterai-baterai peluru kendali antibalistik.

Dan itu pastinya tak bisa dilakukan tanpa mengusik China yang tengah memoderinasasi arsenal misil balistiknya sendiri untuk mengintimidasi musuh-musuh sekawasannya.

Pada kondisi terburuk, apa yang terjadi di Korea Utara bisa mendorong Jepang atau Korea Selatan mengembangkan program senjata atomnya sendiri.

Kim Jong-un yakin tak ada lawan

Jika hal itu terjadi, China jelas-jelas dihadapkan kepada posisi yang sulit. Dan Kim Jong-un tahu pasti dilemma yang dihadapi China ini.

China sudah pasti bisa bergerak lebih jauh dari sekadar embargo batu bara demi meningkatkan tekanan ekonomi kepada Pyongyang.

Namun China juga sedapat mungkin menghindari skenario jatuhnya rezim Pyongyang jatuh.

China tak ingin melihat Korea bersatu karena skenario seperti ini hanya membuat pasukan AS bisa hadir di perbatasan Korea-China.

China juga tak menginginkan ambruknya ekonomi Korea Utara karena sudah pasti membuat China dibanjiri pengungsi Korea.

Oleh karena itu, di jantung strategi Kim Jong-un ada keyakinan dari dia bahwa tidak ada satu pun yang benar-benar ingin melawan dia.  Tidak AS, tidak China, tidak Jepang, tidak Korea Selatan, tidak pula oposisi di dalam negeri.

Namun dalam rangka mengamankan posisinya, Kim Jong-un mesti memajukan program persenjataannya secepat mungkin agar Korea Utara menjadi tidak bisa dilawan siapa pun ketika semua orang berubah pikiran tentang dia.

Sebuah posisi yang masuk akal mengingat diktator-diktator lain seperti Saddam Hussein di Irak dan Muammar Gaddafi di Libya telah lebih dulu angkat tangan dengan program persenjataannya sehingga mereka harus membayar mahal keputusan mereka itu.

Yang pasti apa yang dilakukan Kim Jong-un membuat dunia menjadi lebih berbahaya.

Dan bagi orang yang memerintahkan pembunuhan kakak tirinya di sebuah bandara yang ramai pengunjung --jika dinas intelijen Korea Utara benar-- sepertinya tidak akan ragu mematikan siapa pun demi memastikan keberlangsungan dirinya atau jika dia melakukan itu karena merasa tidak ada ruginya bagi dia.

sumber: Reuters


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017