Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa, kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap lima orang yang terkait kasus tindak pidana korupsi pengadaan paket kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan nasional secara elektronik (KTP-E) tahun anggaran 2011-2012.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Imigrasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada akhir September 2016 untuk meminta dilakukan pencegahan terhadap sejumlah orang di kasus KTP-E selama enam bulan sejak tanggal diajukan..

"Selain dua orang tersangka, kami minta tiga orang lainnya juga dicegah, yaitu Isnu Edhi Wijaya, Anang Sugiana, dan Andi Agustinus," katanya.

Menurut Febri, para saksi yang dicegah tentu karena dibutuhkan keterangannya pada penyidikan tersebut saat itu.

Isnu Edhi Wijaya diketahui sebagai Ketua Konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI), Anang Sugiana sebagai Direktur Utama PT Quadra Solution, dan Andi Agustinus selaku penyedia barang/jasa pada Kemendagri.

Baca Juga : Anggota DPR: angket e-KTP "uji nyali" parpol

Terkait persidangan KTP-E, KPK dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua pada Kamis (16/3) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa, kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya," ucap Febri.

Ia mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.

"Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," tuturnya.

Menurut Febri, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.

Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek KTP-E tersebut.

Baca Juga : KPK tidak hiraukan bantahan pihak kasus E-KTP

Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran KTP-E pada 2010 dengan anggaran Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya. Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah:

1. Sebanyak 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek.

2. Sebanyak Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada:
    a. Beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar.
    b. Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261 miliar.
    c. Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar.
    d. Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp574,2 miliar.
    e. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar.

Terdakwa dalam kasus itu adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017