Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan Komisi II DPR RI periode 2009-2014 mengusulkan perubahan sumber anggaran proyek pengadaan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP/KTP-E).

"DPR minta supaya diupayakan dengan anggaran APBN murni karena sebelumnya ada PHLN (Pinjaman Hibah Luar Negeri)," kata Gamawan saat menyampaikan kesaksian dalam sidang kasus korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

Menurut Gamawan, usul perubahan anggaran tersebut dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR.

Ia menjelaskan pula bahwa kementerian sudah meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawal penganggaran proyek e-KTP.

KPK, menurut dia, menyarankan proyek tersebut dikawal oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

"Saya minta Sekjen bersurat ke LKPP dan BPKP minta dikawal, didampingi istilahnya," ucapnya.

Gamawan mengungkapkan bahwa kementerian juga meminta LKPP mengawal lelang elektronik proyek tersebut, namun di tengah jalan terjadi perbedaan pendapat dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

"Karena antar-lembaga, PPK dan LKPP beda, bukan kewenangan saya. Saya suratkan ke Wakil Presiden," katanya.

Selanjutnya Wakil Presiden membentuk tim untuk memediasi perbedaan antara LKPP dan PPK dan Gamawan merasa persoalan tersebut sudah selesai.

Gamawan mengaku tidak pernah mendengar adanya pengelembungan dari laporan pejabat PPK dan ketua panitia pengadaan.

"Saya tidak tahu tentang itu, karena yang saya tahu itu yang dilaporkan saja. Saya tanya tender ada banyak vendor, bilang tidak ada yang di bawah Rp7 triliun, saya tanya ini yang tender ini baru dibilang Rp5,9 triliun dan logikanya ya saya tanda tangan. Saya minta pengawasan oleh BPKP, KPK, Polri, Kejaksaan," tuturnya.

Gamawan juga mengakui bahwa target pengadaan e-KTP tidak tercapai karena terhambat kondisi infrastruktur dan kemauan warga untuk merekam data diri.

"Kata Pak Dirjen waktu itu perekaman ada yang offline, ada yang online. Misalnya, di balik-balik bukit, di pulau-pulau tidak bisa online karena tidak ada listrik. Sekarang mungkin sudah tercapai 172 juta," katanya.

Gamawan bersaksi dengan lima orang lainnya untuk dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang didakwa merugikan negara hingga Rp2,3 triliun dalam proyek e-KTP.

Saat proyek berlangsung, Irman menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil  Kementerian Dalam Negeri, dan Sugiharto menjabat sebagai Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi di direktorat jenderal tersebut.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017