Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, mulai 1 April akan mengatur tarif taksi online berdasarkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Tarif baru itu akan mengacu pada batas atas dan batas bawah sehingga tarif taksi online dan konvensional diperkirakan tidak jauh berbeda.

Selama beberapa tahun muncul di Indonesia, terutama di kota besar, masyarakat lebih memilih layanan taksi online karena menawarkan harga yang lebih murah.

Sofyan, salah seorang pengemudi taksi online, mengakui orang-orang yang menaiki mobilnya kerap bercerita bila jarak jauh, selisih tarif taksi online dan konvensional bisa mencapai 50 persen.

"Sepertinya tarif nggak mungkin disamakan. Kalau pun iya, pasti konsumen cari yang lebih murah," kata Sofyan di Jakarta, Selasa.

Selama ini, kekuatan taksi online, menurut dia, terletak di promosi sehingga tarif yang ditawarkan miring bila dibandingkan dengan taksi konvensional.

Apalagi, sejumlah perusahaan menyediakan potongan harga bila membayar dengan uang virtual, seperti Go-jek dengan Go-Pay dan GrabPay dari Grab.

"Konsumen cari promo itu," kata dia.

Taksi online menawarkan tarif flat berdasarkan jarak, berbeda dengan dengan argometer di taksi konvensional yang menghitung jarak dan waktu tempuh.

Misalnya, jarak 8 kilometer dengan taksi online dikenakan tarif Rp30.000 dan tetap berlaku walaupun jalan macet.

Sebaliknya, tarif taksi online untuk jarak itu akan bervariasi bergantung pada waktu tempuh. Semakin banyak juga tarif yang dikenakan pada konsumen.

Ia tidak khawatir kehilangan pelanggan bila per 1 April nanti tarif taksi online dan taksi konvensional tidak jauh berbeda.

Baca juga: (Kemenhub akan atur tarif taksi "online")


"Ya, mau bagaimana lagi kalau perusahaan aplikasi sudah menentukan. Tapi, tetap, menurut saya konsumen akan cari promo. Mungkin promosi dibesarkan lagi," kata dia.

Dengan promosi potongan harga, lanjut dia, meskipun harga mirip dengan taksi konvensional, konsumen mungkin akan tetap dikenakan tarif yang lebih murah.

Sementara itu, salah seorang sopir taksi konvensional, Yon Mulyono, berpendapat perdebatan mengenai angkutan konvensional dan angkutan dalam jaringan disebabkan oleh pemerintah yang tidak segera menerapkan aturan.

"Jadinya, kecemburuan sosial, yang ribut orang bawah kayak kami begini," kata Yon, yang mengaku turut berdemo menolak angkutan online beberapa waktu lalu.

Menurut dia, sebaiknya taksi konvensional yang sudah ada dioptimalkan, misalnya meremajakan armada serta mengganti model mobil dengan yang lebih besar sehingga dapat memuat lebih dari tiga penumpang, seperti taksi online.

Ia mengakui, selama ini kemunculan taksi online mempengaruhi pendapatannya sehari-hari, seperti hari ini.

Menurut dia, sejak pagi hingga siang, ia baru mengantongi sekitar Rp120.ooo, sementara sebelum taksi online muncul, ia bisa mendapat lebih dari jumlah itu.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto dasar pertimbangan tarif jasa taksi online adalah untuk melindungi konsumen dan menjaga kesetaraan berusaha.

Sosialisasi revisi PM 32/2016 akan selesai pada akhir Maret ini dan peraturan baru berlaku mulai 1 April.

Perusahaan penyedia layanan taksi online wajib mematuhi aturan tersebut.

Grab, Uber dan Go-jek selaku penyelenggara aplikasi transportasi online melalui pernyataan bersama Jumat (17/3) mengkritik revisi PM 32/2016 tentang kuota jumlah kendaraan, batas biaya perjalanan angkutan sewa dan kewajiban kendaraan terdaftar atas nama badan hukum.

Mereka berpendapat tarif perjalanan yang mereka terapkan sudah disesuaikan dengan kesepadanan dan penghitungan harga yang akurat.

Baca juga: (Kemenhub gandeng Polri kawal sosialisasi Permenhub 32)

Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017