Jakarta (ANTARA News) - Koalisi berbagai lembaga masyarakat peduli Pegunungan Kendeng, Koalisi Untuk Kendeng Lestari (KUKL), memastikan perjuangan masyarakat tidak akan surut menyusul meninggalnya salah satu peserta aksi, Patmi (48), pada Selasa dini hari.

"Yang terjadi hari ini tak akan menyurutkan semangat masyarakat Kendeng, malah memperkuat solidaritas untuk perjuangan ini," kata salah seorang juru bicara KUKL yang Direktur Eksekutif Yayasan Desantara, Mokhamad Sobirin, dalam konferensi ensj pers terkait kelanjutan aksi Kendeng menyusul meninggalnya mendiang Patmi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa.

Pasalnya, lanjut Sobirin, masyarakat Kendeng meyakini bahwa apa yang mereka lakukan bukan hanya berkaitan langsung dengan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka, yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan memanfaatkan Pegunungan Kendeng sebagai sumber pengairan, tetapi juga soal kelestarian lingkungan setempat.

"Ini bukan konflik lahan tetapi upaya penyelamatan lingkungan," kata Sobirin.

Hal senada juga disampaikan pegiat Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Eko Arifianto, yang mengingatkan bahwa setiap orang pada akhirnya akan meninggal namun semua diberi pilihan mati dalam keadaan membela alam atau malah melukai alam.

Patmi, lanjut Eko, merupakan salah satu yang memilih meninggal dalam keadaan membela ibu pertiwi.

"Kita semua pasti akan mati, cuma kita yang memilih jalan kematian mana yang kita mau. Mati dalam perjuangan mencintai ibu pertiwi atau melukai ibu pertiwi," kata Eko.

Oleh karena itu, Eko berharap kematian Patmi menjadi momentum muncul dan tumbuhnya bunga-bunga perlawanan dari masyarakat terhadap kesewenangan pemerintah yang tak mengindahkan rakyat dalam perencanaan pembangunan.

Sementara itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa, memastikan bahwa seluruh pihak yang terlihat dalam solidaritas untuk masyarakat Kendeng memutuskan untuk melanjutkan aksi-aksi penolakan pendirian dan pengoperasian pabrik semen PT Semen Indonesia di kawasan Pegunungan Kendeng, Rembang, Jateng.


Peringatan

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Sartika, menyoroti sengkarut pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng menjadi preseden buruk atas konflik lahan di Indonesia.

Pasalnya, setelah bersedia menemui perwakilan petani Kendeng pada Agustus 2016 lalu Presiden Joko Widodo menawarkan solusi penundaan proses pabrik hingga keluar Kajian Lingkungan Hasil Strategis (KLHS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Hari ini kita menyaksikan preseden buruk dari sedikit kasus yang sudah masuk ke istana dan ditemui langsung Presiden Jokowi pada Agustus lalu. Ini bisa mempengaruhi masalah serupa yang terjadi saat ini dan di kemudian hari," kata Dewi.

Lebih lanjut, Alghiffari mengingatkan pemerintahan Presiden Jokowi bahwa jika pengabaian hukum terus berlanjut justru akan memperkuat gerakan sosial dari masyarakat.

"Ini akan menjadi gerakan sosial yang menyatakan bahwa abainya pemerintah terhadap hukum akan membuat gerakan masyarakat menguat," kata Alghiffari.

"Hari ini mungkin kami masyarakat memohon kepada Presiden Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, tetapi jika permohonan tak dipenuhi juga, bukan tidak mungkin Jokowi yang akan memohon kepada rakyat agar tidak diturunkan dari jabatannya," ujarnya menambahkan.

Selanjutnya pada Kamis (23/3) bertepatan dengan peringatan Hari Air Sedunia, segenap elemen masyarakat akan melakukan aksi di depan Istana Kepresidenan dilanjutkan dengan Aksi Kamisan, yang semuanya mencantumkan solidaritas terhadap perjuangan masyarakat Kendeng.

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017