Jakarta (ANTARA News) - Mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani yang dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umun KPK mengaku tidak kenal dengan Andi Agustinus atau Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa pada Kemendagri.

"Saudara kenal Andi Narogong?," tanya Ketua Majelis Hakim John Halasan dalam sidang kasus proyek KTP-E di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

"Tidak," jawab Miryam.

"Kalau di BAP kok kenal?," tanya Hakim John kembali.

"Tidak yang Mulia," jawab Miryam.

"Saudara pernah dimintai oleh pimpinan Komisi II untuk sesuatu urusan?," tanya Hakim John.

"Tidak pernah," jawab Miryam.

"Di dalam BAP, keterangan saudara pernah dimintai bantuan untuk menerima sesuatu dari pihak ketiga?," tanya Hakim John.

"Tidak pernah," jawab Miryam.

"Saudara tidak mengakui?," tanya Hakim John.

"Tidak," jawab Miryam.

Dalam persidangan diketahui, saksi Miryam mengaku diancam oleh penyidik saat dilakukan pemeriksaan sehingga keterangannya selalu berbeda dengan apa yang telah dituangkan di dalam BAP.

"Waktu diperiksa penyidik, saya dipaksa, saya diancam," kata Miryam.

"Diancam seperti apa?," tanya Hakim John.

"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.

Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,9 triliun tersebut.

Dalam dakwaan juga disebut bahwa Andi Narogong memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR.

Andi di dalam dakwaan juga disebutkan yang akan mengerjakan proyek KTP-E karena sudah terbiasa di Kemendagri dan "familiar.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Puluhan pihak disebut menikmati aliran dana pengadan KTP Elektronik (KTP) tahun anggaran 2011-2012 dari total anggaran sebesar Rp5,95 triliun.

(B020/S027)

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017