Jakarta (ANTARA News) - "Hutan adalah teknologi paling maju di dunia untuk menyerap karbon," kata peneliti Center for Global Development Frances Seymour saat memperkenalkan buku "Why Forests? Why Now? The Science, Economics, Politics of Tropical Forests and Climate Change".

Buku tersebut ditulis bersama rekannya Jonah Busch di Jakarta. Lebih dari itu, Seymour mengatakan, menekan deforestasi terutama di hutan-hutan tropis yang dimiliki negara-negara kaya hutan di dunia adalah cara termurah untuk menyerap emisi karbon di udara.

Menurut para penulis, jika deforestasi hutan tropis dihentikan dan semua hutan yang rusak tumbuh kembali, potensi mitigasi perubahan iklimnya dapat mencapai 24-30 persen dari emisi global saat ini.

"Melindungi hutan tropis merupakan salah satu strategi yang paling terjangkau dan dapat dilaksanakan untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat celsius," ujar Seymour.

Walaupun demikian, perlindungan terhadap hutan tropis hanya dapat dicapai jika negara maju meningkatkan investasi untuk melindungi hutan, khususnya melalui skema pembiayaan berbasis kinerja atau "payment for performance", yang dapat menjadi suatu insentif nyata untuk mengurangi emisi dari deforestasi.

Negara maju telah menjanjikan lebih dari 14 miliar dolar AS untuk skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus Konservasi (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation plus Conservation/REDD+) sejak 2006, namun hanya sebagian kecil dari jumlah tersebut yang telah dicairkan.

Berdasarkan data Busch, Engelmann, L pissier (2016) dan Joint Global Change Research Institute (2015), negara yang memberikan dana hibah maupun pinjaman khusus untuk skema REDD+ terbesar secara global adalah Norwegia mencapai 968 juta dolar AS, diikuti Amerika Serikat mencapai 568 juta dolar AS, Jerman mencapai 438 juta dolar AS, UK mencapai 299 juta dolar AS, dan Jepang mencapai 250 juta dolar AS.

Baca juga: (Inggris janjikan 3 juta poundsterling untuk cegah kebakaran hutan Indonesia)
Sedangkan berdasarkan data dari Forest Carbon Partnership Facility (2016) dan Forest Investment Program (2016), dari 50 negara di dunia yang memiliki program inisiatif REDD+ baru beberapa saja yang memiliki akses ke pendanaan internasional berbasis kinerja. Beberapa diantaranya adalah Brasil (2008), Guyana (2009), Indonesia (2010), Kolombia (2015), serta Ekuador, Peru dan Liberia (2014).

Seymour dan Busch dalam bukunya menekankan bahwa satu komponen penting yang belum hadir dalam upaya mitigasi perubahan iklim sejauh ini adalah insentif nyata dari negara maju bagi negara berkembang untuk menekan laju deforestasi.

Padahal, menurut Seymour, sains, ekonomi dan politik saat ini berada dalam posisi yang selaras untuk mendukung upaya yang besar di tingkat internasional untuk melindungi hutan tropis. Maka ini saat yang tepat bagi negara maju untuk berinvestasi lebih banyak lagi untuk melindungi hutan tropis, mengurangi emisi karbon dan memberikan kontribusi langsung yang signifikan terhadap pembangunan.

Skema mitigasi

Berdasarkan laporan Pemerintah Indonesia kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), deforestasi dan perubahan tata guna lahan di Indonesia berkontribusi sekitar 47,7 persen dari total emisi gas rumah kaca Indonesia. Dengan kondisi ini, upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia dengan pemberian insentif finansial untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan memiliki potensi keberhasilan yang tinggi.

Indonesia bukan pemain baru dalam urusan skema mekanisme perubahan iklim. Paling tidak Indonesia masuk di barisan terdepan dalam pengembangan dan uji coba skema REDD+, sebuah mekanisme iklim yang diadopsi oleh negara-negara di dunia pada Perjanjian Paris pada akhir 2015.

Bahkan, Indonesia sempat memiliki badan khusus yang mengurusi soal REDD+ tersebut dan uji coba skema tersebut juga sudah jalan di sejumlah daerah. Pencairan dana yang lambat memang sejauh ini sering dikaitkan dengan sulitnya memonitor dan melakukan verifikasi pengurangan emisi karbon dari sektor kehutanan.

Namun, menurut Direktur WRI Indonesia Nirarta Samadhi, sekarang keadaan telah berubah mengingat kemajuan pesat dalam teknologi satelit dan data yang tersedia di platform seperti Global Forest Watch memungkinkan untuk memonitor penurunan emisi dari deforestasi yang berkurang, sehingga memungkinkan adanya pembiayaan berbasis kinerja antara negara maju dan negara yang kaya hutan.

Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewhanti menyebut pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memasuki tahap akhir setelah beberapa kali melalui harmonisasi kebijakan.

Instrumen kebijakan yang seharusnya dikeluarkan sejak 2010 ini, menurut dia, penting karena tidak hanya sekedar persoalan mengeluarkan insentif dan/atau disinsentif semata kepada Kementerian/Lembaga, Pemda hingga masyarakat tetapi juga dalam upaya mengubah perilaku semua pihak terhadap lingkungan.

Bagi upaya pendanaan mitigasi perubahan iklim maka RPP ini menjadi penting diselesaikan untuk bisa berlanjut ke penyelesaian Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup yang berperan sebagai lembaga keuangan yang tidak hanya membiayai upaya penurunan emisi karbon tetapi juga kegiatan-kegiatan perlindungan lingkungan hidup.

Perhutanan sosial

Indonesia merupakan rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Hutan tidak hanya berkontribusi pada penyediaan jasa lingkungan tetapi juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat.

Namun di sisi lain deforestasi yang terjadi berdampak panjang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai lingkungan, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kualitas hidup manusia. Deforestasi berkontribusi pada perubahan iklim yang berlanjut menghambat upaya pembangunan yang akhirnya memperparah kemiskinan.

Indonesia telah memperlihatkan komitmen politik yang terus meningkat untuk melindungi hutan, termasuk melalui skema perhutanan sosial. Skema perhutanan berbasis masyarakat memang telah menjadi elemen penting dalam pengelolaan hutan dan dapat menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat lokal sekaligus dapat menjaga fungsi ekologis hutan.

Nurarta Samadhi yang akrab disapa Koni mengatakan hutan di Indonesia merupakan rumah bagi kelompok masyarakat adat dan masyarakat setempat yang dikenal sebagai penjaga hutan. Pola hidup masyarakat adat yang 72 persen bergantung dari hutan berupa pendapatan nontunai seperti penggunaan air, mencari ikan, kayu hingga obat-obatan membuat mereka menjaga tutupan hutan.

Indonesia, menurut dia, sebenarnya bisa memakai cara murah dengan mengelola hutan berbasis masyarakat ini. Karena jika hutan terlanjur berubah menjadi kebun maka pendapatan masyarakat penunggu hutan tadi akan hilang, kesejahteraan jauh dari yang diharapkan.

Baca juga: (FSC dinilai harus mensertifikasi industri hutan Indonesia)

Ia mengatakan saat Pemerintah mempercepat proses pengakuan hak-hak masyarakat adat akan menjadi cara murah menjaga hutan. Pemerintah hanya mengeluarkan dana saat awal penetapan hutan adat, selanjutnya sumber daya manusia pengelola akan datang secara otomatis dari masyarakat.

Jika mengambil contoh keberhasilan negara di Amerika Latin yang telah menerapkan pengakuan hak masyarakat adat, deforestasi di hutan masyarakat adat dua hingga tiga kali lebih rendah dibandingkan wilayah hutan lainnya. "Kami (WRI Indonesia-red) belum menghitung berapa pastinya jika diterapkan di Indonesia. Tapi kuncinya pemberian hak tenurial ya".

Sayangnya, menurut Koni, seringkali upaya pengakuan hak tersebut terhambat dengan berbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan sendiri.

Presiden Joko Widodo pada Rabu (22/3), saat bertemu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Istana Negara telah menyatakan komitmennya mempercepat pembagian lahan Perhutanan Sosial, yang telah disiapkan sebesar 12,7 juta hektare (ha) dan didalamnya termasuk juga Hutan Adat.

Presiden mengatakan percaya hutan akan lebih lestari, lebih berkelanjutan, lebih terjaga dan terpelihara jika diserahkan ke masyarakat adat. Karenanya, dirinya meminta Kementerian Dalam Negeri mendorong Kepala Daerah lebih cepat mengeluarkan Perda atau Surat Keputusan (SK) Bupati terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat agar mempercepat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan SK Pengakuan Hutan Adat.

(T.V002/E001)

Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017