Jakarta (ANTARA News) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memastikan kesiapannya untuk menangani perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk kalangan aparatur sipil negara (ASN), demikian disampaikan Direktur Perluasan Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, E Ilyas Lubis.

Ilyas mengatakan BPJS Ketenagakerjaan sudah mempersiapkan segala sesuatu terkait pengalihan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk ASN seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.

"Sejak awal berdirinya BPJS Ketenagakerjaan (tahun 2014) dibicarakan untuk menangani perlindungan PNS/ASN, sehingga BPJS Ketenagakerjaan sudah mempersiapkan dengan berkoordinasi kepada pihak terkait untuk pengolahan data, pengembangan sistem, bahkan persiapan hardware yang dibutuhkan. Jadi intinya kita sudah sangat siap untuk melindungi PNS/ASN, apalagi tenaga honorer," ujar Ilyas dalam keterangan tertulis BPJS yang diterima di Jakarta, Senin.

Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia hingga tahun 2017, menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), sebanyak 4,5 juta.

Dengan bergabungnya PNS menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, skema perlindungan jaminan sosial kepada tenaga kerja diharapkan berjalan sesuai dengan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni program jaminan sosial diselenggarakan oleh badan hukum publik yang dibentuk oleh undang-undang, bukan berbentuk perseroan terbatas.

BPJS Ketenagakerjaan menargetkan jumlah kepesertaan sepanjang 2017 ini bisa menembus angka 25,2 juta tenaga kerja, baik tenaga kerja penerima upah maupun tenaga kerja non-penerima upah.

Ilyas menambahkan, sejumlah pemerintah daerah telah mendaftarkan para PNS-nya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. "Karena melihat kesiapan yang sudah kita jalankan selama ini, pernah beberapa pemda ikut bergabung dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan," jelasnya.

Baca juga: (BPJS Ketenagakerjaan raih apresiasi PR Indonesia Awards 2017)

Baca juga: (BPJS TK gandeng Puskesmas maksimalkan pelayanan)

Sementara itu, anggota  Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Irgan Chairul Mahfiz mendesak pemerintah untuk kembali menjalankan amanat UU No 40 Tahun 2004 serta UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS.

Menurut Irgan, munculnya kerancuan terkait siapa yang berhak menangani perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk kalangan ASN, dikarenakan pemerintah sendiri tidak konsisten dalam menerbitkan peraturan pemerintah terkait perlindungan jaminan sosial untuk ASN.

Salah satunya seperti yang tertuang dalam PP Nomor 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara.

"PP itu (PP Nomor 70/2015/red) tidak selaras dengan UU SJSN dan BPJS, seharusnya PP bisa menyesuaikan diri dengan semangat UU di atasnya, itu menunjukan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan regulasi yang telah disepakati," tegasnya.

Sebelumnya, Pengamat Jaminan Sosial, Hotbonar Sinaga juga menilai, implementasi program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia banyak melenceng dari yang diamanatkan oleh  UU SJSN serta UU BPJS. Hal itu bisa dilihat dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 yang memberi kewenangan  PT Taspen (Persero) mengelola program JKK dan JKM bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Terbitnya PP Nomor 70/2015 tersebut dinilai telah menabrak tiga undang-undang yaitu UU SJSN, UU BPJS dan UU ASN (Aparatur Sipil Negara).

"Pelanggaran terhadap UU SJSN dan BPJS tentunya bisa terjadi karena kurangnya kesadaran pemerintah dalam implementasi UU tersebut. Hasilnya, regulasi yang bertolak belakang dengan UU SJSN dan BPJS pun bermunculan," tegas Hotbonar, demikian seperti dikutip dari rilis BPJS Ketenagakerjaan.



Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017