Saat ini, banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar."
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan industri mebel nasional memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang karena didukung sumber bahan baku melimpah dan perajin yang terampil.

"Potensinya besar sehingga pemerintah memprioritaskan pengembangan sektor padat karya berorientasi ekspor ini agar semakin produktif dan berdaya saing melalui kebijakan-kebijakan strategis," katanya di sela-sela Global Manufacturing and Industrialisation Summit (GMIS) 2017 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Selasa.

Airlangga melalui keterangan tertulisnya yang diterima ANTARA News mengatakan bahwa salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sektor ini adalah dengan mengurangi berbagai hambatan yang dihadapi pelaku usaha mebel nasional yaitu proses produksi, pemasaran, maupun ekspor.

Dia mencontohkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan dokumen V-Legal yang diwajibkan bagi industri furnitur.

"Menurut pelaku industri furnitur, SVLK pada dasarnya belum memberikan manfaat bagi mereka khususnya terkait keberterimaan dokumen V-Legal di negara tujuan ekspor," ujarnya.

Saat ini, baru Uni Eropa yang sudah memiliki kerangka kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA), sedangkan kebijakan ini berlaku ke seluruh negara tujuan ekspor.

Untuk mengatasinya, Airlangga menegaskan, perlunya koordinasi dengan pemerintah Uni Eropa (G to G) untuk menghilangkan kendala teknis yang menghambat produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa.

"Sehingga, produk furnitur Indonesia dapat privilege masuk ke pasar Uni Eropa melalui Greenline dan melakukan negosiasi dengan negara tujuan ekspor lainnya untuk meningkatkan keberterimaan SVLK," tuturnya.

Opsi lain, menurut dia, mengeluarkan atau mengecualikan produk furnitur dan kerajinan kayu dari kewajiban SVLK.

“Makanya, SVLK diminta untuk disederhanakan dan bisa dikomunikasikan kepada seluruh konsumen,” katanya.

Kemenperin juga mengusulkan agar perusahaan yang sudah mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) tidak perlu rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan impor kayu karena akan menghambat jalannya proses produksi.

"Saat ini, banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar," ujarnya.

Jenis-jenis kayu tersebut tidak tersedia di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan, perlu dilakukan impor.

Airlangga mengungkapka, hambatan lainnya, yaitu selama ini impor barang contoh furnitur masih harus melalui proses karantina oleh Kementerian Pertanian, padahal produk furnitur merupakan produk olahan di mana sebelum diimpor sudah melalui proses fumigasi di negara asalnya sehingga bebas hama penyakit.

"Proses karantina sampel furnitur yang memakan waktu mengakibatkan tertundanya proses produksi furnitur," katanya.

Untuk itu, Menperin menyarankan agar contoh furnitur tidak lagi harus melalui proses karantina.

Airlangga menyampaikan, pemerintah juga telah menyiapkan fasilitas pajak seperti tax allowance bagi pelaku usaha furnitur di Indonesia agar produk furnitur Indonesia semakin bersaing.

"Industri furnitur merupakan salah satu sektor yang dapat memanfaatkan kebijakan pemotongan pajak penghasilan dan penundaan pembayaran pajak penghasilan," ujarnya.

Insentif itu diberikan untuk mempermudah arus kas (cash flow) perusahaan dan mengurangi beban biaya tenaga kerja.

“Kalau mereka minta, kami bisa memberikan rekomendasi. Sudah ada lima perusahaan yang mendapatkan," demikian Airlangga Hartarto.

Pewarta: Try Reza Essra
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017