Presiden Jokowi saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (24/3) menegaskan bahwa agama mesti dipisahkan dari politik. 

Pernyataan itu 100% benar karena mencampuradukkan urusan agama dan politik berpotensi membidani tumbukan sosial dan pertikaian mendatar alias konflik horizontal.

Kalau kita mau jujur, keindonesiaan kita saat ini justru sedang bergerak ke arah titik nol kalau kelompok politik berjubah agama terus dibiarkan melakukan provokasi politik dengan memakai bahasa dan simbol agama. 

Pernyataan Presiden adalah peringatan yang benar tentang imaginasi keindonesiaan kita yang belum utuh. Boleh jadi, Max Lane (2008) benar, bahwa kita belum selesai sebagai bangsa (the unfinished nation). 

Evolusi keindonesiaan belum tuntas dari semangat antikolonial menuju semangat nation building yang semestinya ditandai adanya tansformasi sosial dan politik dalam mewujudkan cita-cita teleologis berbangsa dan bernegara.

Keindonesiaan adalah identitas kebangsaan yang tunggal yang dibangun secara sadar dari kebhinekaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 

Kesadaran inilah yang menyebabkan Piagam Jakarta yang dirumuskan Tim Sembilan pada 22 Juni 1945 dulu dikoreksi oleh Muhamad Hatta, setelah bersepakat dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.  

Saat ini kita melihat adanya bahaya yang serius karena ada kelompok yang berteriak menghidupkan lagi Jakarta Charter. Kita bisa pastikan bahwa target mereka adalah mengubah Pancasila dengan sesuatu yang lain.

Para Pendiri merancang Republik ini dalam bingkai demokrasi. Hal itu tak berintensi meminggirkan peran agama dalam politik. Sekularisasi di Eropa yang memperoleh bentuk kuat pada abad ke-19, setelah bermunculan kritik keras dari para filsuf terhadap agama sejak abad ke-17, tidak serta-merta menegasi eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. 

Prinsip sekularisasi hanya menertibkan otonomi agama dalam ruang privat karena ruang publik adalah murni politik (baca: urusan Negara). Hari ini pun, masih banyak partai memakai nama agama di Eropa yang sekuler seperti Partai Kristen (CDU) atau Partai Katolik (CSU) di Jerman. 

Namun, partai-partai berjubah agama itu tidak menjual kitab suci dan simbol liturgis dalam ruang publik.

Logika ini yang hendak diperkuat oleh Presiden dalam pernyataannya. 

Bahwa Indonesia adalah milik semua, tidak bisa dan tidak boleh diklaim oleh satu kelompok, entah minoritas ataupun mayoritas. 

Sebagai kekayaan dan identitas bangsa, agama dalam tradisi Indonesia adalah sumur nilai, tempat dimana kita menimba kebijaksanaan untuk membangun habitus keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila. 

Apalagi, Islam sejak awal adalah unsur penting yang turut membentuk hakikat nasionalisme keindonesiaan sebagaimana ditegaskan Michael Francis Laffan (2003) dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below the winds—buku yang dianggap para kritikus telah melampaui Imagined Communities-nya Benedit Anderson (1983).

Berkaca pada Laffan, ekumenisme agama adalah keistimewaan dalam demokrasi kita.  Namun, perjuangan politik agama merujuk pada upaya menciptakan kemaslahatan umum, bukan membangun arogansi kelompok yang mengancam kebhinekaan. 

Memisahkan agama dan politik yang dimaksud Presiden Jokowi tentu tak berpretensi menolak peran agama dalam politik, tetapi menolak segala bentuk provokasi dan politisasi agama sebagai taktik untuk berkuasa. 

Prinsip demokrasi mengatur bahwa agama secara prosedural harus ada di ruang privat. Namun, secara substansial agama mesti mengejawantahkan diri dalam ruang publik melalui perjuangan kebaikan dan kebajikan yang universal. 

Dengan jalan demikian, agama bisa menyelamatkan Indonesia di masa depan agar tidak mundur ke titik nol. Seruan Presiden adalah ajakan untuk seluruh elemen bangsa agar lebih peduli dengan ancaman bagi masa depan Demokrasi Pancasila.
 
*) Pengamat politik

Oleh Boni Hargens*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017